Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2022

Wasiet (10)

  Ngawi, awal 2010 WARUNG Mang Rojak padat seperti biasanya. Meski terletak di sudut kota, warung kecil miliknya selalu ramai dikunjungi oleh warga. Ini jadi lokasi favorit para muda-mudi untuk menghabiskan waktu usai jam sekolah selesai. Letak warung ‘Bambu’ yang berhadapan langsung dengan persawahan menjadikan tempat ini terasa asri. Para pengunjung datang dan pergi. Namun satu meja di pojok kanan tetap dihuni oleh tiga dara cantik yang sama sejak pukul 14.00 WIB tadi. Mereka masih berseragam. Hampir tiga jam mereka di sana dan Mang Rojak tak berani menegur. Maklum, ketiganya adalah langganan setia di warung itu. Padahal Tepo Tahu pesanan mereka sudah habis sejak beberapa jam lalu. “Ris. Jadi beneran kamu akan daftar kuliah di Aceh?” ujar Sri. Gadis manis ini bertubuh semampai. Rambut hitamnya dipotong sebahu. Sementara gadis yang dipanggil tadi hanya tersenyum kecut. Gadis cantik berkulit mulus itu memandang jauh kedepan. Tatapannya kosong. Ia seolah sedang memikirkan sesuatu. “Ya,

Wasiet (9)

  Penulis Musa AM RISKA semakin sering mengirim pesan singkat usai pertemuan di Lapangan Tugu. Namun Ibnu tetap mencoba untuk berpikir positif. Ia menduga jika si gadis Jawa itu sedang mencari teman baru selama di Aceh. Riska mengirim pesan di pagi hari, siang hingga saat malam tiba. Sedangkan Ibnu mencoba menanggapi sebiasa mungkin. Perempuan cantik itu juga mulai sering terlihat di depan RKU 3 yang menjadi ‘markas’ mahasiswa jurusan Sejarah selama ini. Keberadaan Riska di sana, turut menjadi pembahasan serius kop mahasiswa ‘cap sikureung’ itu. Kepada Ibnu, Riska beralasan kebetulan lewat, ketemu teman hingga diajak kawan ke kantin FKIP karena makanannya enak. Kebetulan pula, saat Riska terlihat di FKIP, ada Ibnu di sana. Namun Ibnu sendiri tetap mencoba berpikir positif. Ia tidak mau ke pikiran macam-macam. “Tak mungkin ia menyukaiku. Ia terlalu cantik untukku yang bukan siapa siapa. Wanita cantik sepertinya pasti banyak disukai lelaki,” pikir Ibnu. “Lagian, kalau gadis itu suka pun,

Wasiet (8)

Penulis Musa AM IBNU keringatan. Beberapa butir peluh turun dari rambutnya membasahi wajah. Padahal suasana masih pagi. Matahari juga tak sedang menyengat anak adam seperti biasanya. Ibnu keringatan karena ia dan Riska duduk saling berhadapan. Mereka hanya dipisahkan dengan meja kecil setinggi lutut pria dewasa. Apalagi Riska menatapnya berulangkali tanpa dosa. Gadis itu sepertinya tak sadar jika pesonanya mampu membuat setiap pria mabuk kepayang. “Enak ya Mas, mie Aceh. Rempahnya terasa banget. Beda dengan mie di daerah kelahiran Riska,” ujar dia memulai percakapan. Hampir 10 menit mereka saling diam. Si Abang pedagang berulangkali tersenyum melihat Ibnu. “Oya Mas, kita kenalan dong. Dari kemarin cuma kenal nama doing,” kata dia lagi. “Saya Riska Hadayani. Mahasiswi semester dua Fisipol Unsyiah. Asal Ngawi, Jawa Timur. Baru setahun lebih sedikit di Aceh.” Ibnu mencoba tersenyum. Ternyata memang benar jika Riska asal Jawa. Biarpun memakai pakaian muslimah, ia tergolong ceplas ceplos ta

Hindun Binti Utbah: Kisah Tobatnya Wanita Pemakan Hati (1)

  Hindun Binti Utbah: Kisah Tobatnya Wanita Pemakan Hati (1)   Sebelum cahaya Islam menyinari kalbunya, wanita Quraisy itu digelari ''Akilatul Kibdah'' (Pemakan Hati).  Pada saat Perang Uhud berkecamuk, ia sempat memperlakukan jenazah Hamzah di luar batas kemanusiaan. Namun, lembaran hitam yang pernah dilakukannya di masa Jahiliyah, ditebusnya dengan menjadi Muslimah teladan dan pembela agama Allah SWT. Dialah Hindun binti Utbah. Sejatinya, ia bernama lengkap Hindun binti Uthbah bin Robi’ah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Umawiyah al-Qurasyiyah. Ibunya bernama Shafiyyah binti Umayyah bin Haritsah bin al-Auqashi bin Murah bin Hilal bin Falih bin Dzikwan bin Tsa’labah bin Bahtah bin Salim.  ''Ibuku adalah wanita yang sangat berbahaya di masa Jahiliyah dan di dalam Islam menjadi seorang wanita yang mulia dan baik,” ujar Mu’awiyah bin Abi Sofyan mengungkapkan sifat sang ibu. Setelah memeluk Islam, Hindun dikenal sebagai  seorang wanita yang memiliki sifat l

Wasiet (7)

  LAPANGAN Tugu Darussalam ramai di pagi hari. Sejumlah sepeda motor lalu lalang hampir tiap detik. Ibnu berhenti pas di pintu masuk tugu. Di sinilah ia janji dengan Riska untuk bertemu dan kembali tukaran sepeda motor. Mereka janji ketemu pukul 09.00 WIB. Tapi ia tiba di lokasi pukul 08.30 WIB. Ia tak ingin membuat gadis itu menunggu. Ibnu mengamati sekeliling, gadis itu ternyata memang belum datang. Gadis itu tak salah. Hanya dirinya yang datang lebih cepat dari jadwal semestinya. Ia kemudian melangkah mendekati Tugu Darussalam. Di sana terdapat tulisan yang kini menjadi catatan emas untuk tiga kampus terbesar di Aceh. Unsyiah, UIN Ar-Raniry serta Chik Pante Kulu. “Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata.   Darussalam menuju kepada  pelaksanaan cita-cita.  Ir. Soekarno, 2 September 1959.” Ia sepakat dengan kata-kata yang tertera di sana. Kalimat inilah yang menghipnotis ribuan warga di sekitaran Darussalam untuk bergotong royong membuka semak belukar Darussalam guna mendirikan ka

wasiet (5)

  Darussalam, Pertengahan September 2012 ANGIN meniup sepoi-sepoi. Bantaran surgai Lamnyong mulai ramai dipenuhi para muda-mudi.  Keramaian terjadi tiap sore-nya. Termasuk hari ini. Melihat matahari terbenam. Mayoritas adalah mahasiswa dari tiga kampus berlokasi di Darussalam, Kota Banda Aceh. Ada Getsempena, UIN Ar-Raniry serta Universitas Syiah Kuala. Nama kampus terakhir adalah tempat dirinya menimba ilmu selama dua tahun ini. Ia lulus dengan program Bidikmisi yang diselenggarakan pemerintah sejak 2010. Ia lolos di Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah. “Kress…kress.” Perutnya berbunyi. Namun tak ia hiraukan. Ia cuma berbaring dengan tas jinjing miliknya yang dijadikan alas kepala. Ia rebahan di sana sejak sejam lalu. Tempat ini jadi lokasi favorit baginya di sore hari. Selain pustaka kampus tentunya. Menikmati angin sepoi-sepoi hingga magrib tiba. “Kress..kress…kress.” Suara itu kembali muncul. Kali ini lebih kencang dan kuat. Sepertinya, perut tak lagi bisa menoleril rasa lapar yang dideri

Wasiet (4)

  MALAM kian larut. Jam menunjukan pukul 03.15 WIB dini hari. Namun mata Ibnu tak kunjung terpejam. Perkataan Siwak seolah terus berulang di telinganya. “Dia datang bersama pria muda berbaju loreng. Mereka terlihat mesra.” Kalimat ini membuatnya gelisah. Ada rasa cemburu yang amat sangat muncul dari dalam tubuhnya. Jujur, perempuan cantik berkulit mulus itu menempati posisi istimewa dalam hatinya. Wanita itu adalah perempuan kedua yang membuatnya semangat menanti pagi beberapa tahun lalu. Tentu saja, perempuan nomor satu adalah almarhum ibunya. Namun Darussalam menjadi saksi tentang akhir dari cerita itu. “Semoga kini ia bahagia. Ia pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari aku,” gumam Ibnu dalam hati. Kalimat itu terlalu pahit untuk diucapkan. Namun ia mencoba tegar dan berpikir realitis. Ya, tak ada satu pun orangtua yang menginginkan anak perempuannya menikah dengan pria yang bekerja serabutan seperti dirinya. Apalagi ia kini sebatang karang. Almarhum ayah Ibnu tak meninggalkan h