Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2023

Wasiet (30)

  “Di Malaya, ada banyak anak syuhada sepertimu yang berkumpul di sana.” “Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha. Ibnu terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini. Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Ibnu juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup. “Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.” Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Ibnu meski bertahun-tahun telah berlaku. “Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dalam perang. Namun wasiet ayah semasa hidup membuat saya urung memegang senjata,” ujar Ibnu

Wasiet (29)

  Blang Bintang, 2014 IBNU mengamati sekeliling. Ada hamparan sawah yang menguning sejauh mata memandang. Kemudian ada juga kios kecil di sisi kiri jalan yang relative sepi di sana. Lokasi ini terletak di dekat Bandara Blang Bintang, kabupaten Aceh Besar. Jauh dari keramaian. Hanya beberapa pengunjung di sana. Konon di lokasi inilah para sahabat dari almarhum ayahnya ingin bertemu. Saat Ibnu memasuki warung, dua pria berdiri sambil tersenyum. Satu bertubuh kekar dan satu lagi kurus dengan kaki kiri pincang. Ibnu yakin jika kedua pria inilah yang menghubunginya beberapa waktu lalu. “Saya Aneuk Meuruwa, dan ini Lemha. Kami pernah bersama ayahnya selama hidup. Terimakasih telah datang,” ujar pria bertubuh kekar. Ibnu mengangguk. Pria itu kemudian bergantian memeluknya. Ibnu membalas pelukan kedua pria tadi dengan hangat. Ia menghargai kedua pria itu karena mereka mengaku mengenal ayahnya semasa hidup. Setidaknya, itu kata mereka melalui handphone kepada dirinya, beberapa waktu lalu. “Seja

Wasiet (28)

MASJID Rahmat, kawasan Kembang Kuning, Surabaya, mendadak ramai Minggu pagi. Beberapa petinggi Brawijaya terlihat hadir di sana. Mereka datang sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga almarhum Sulaiman. Anak perempuannya menikah. Apalagi calon pengantinnya juga dari kesatuan yang sama. Sementara bagi Praka Dedi sendiri, ini adalah hari yang special. Ia akan menikahi perempuan yang baru dijumpainya selama tiga kali. Dua kali di Masjid Rahmat dan sekali di Ngawi. Ia dan sang gadis juga tak pernah pacaran. Tapi ia yakin jika sang gadis adalah perempuan yang tepat baginya. Ia tidak pernah berpikir untuk menikah cepat. Namun ketika jodoh itu datang, ia tidak juga menolaknya. Hari ini ia akan dinikahi oleh wali sang gadis yang datang dari Jakarta. Mereka adalah warga asal Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta. Keluarga besar dari almarhum ayah Nurul ternyata adalah perantau asal Aceh. Buyut mereka harus meninggalkan Aceh usai meletusnya perang Cumbok. Itu adalah peristiwa berdarah serta

Wasiet (27)

  BAGI Praka Dedi, sikap terus terangan Nurul terhadap kekurangannya merupakan sisi positif yang jarang ditemuinya pada sejumlah wanita yang ditemuinya selama ini. Ia memiliki belasan mantan pacar, tapi tak satu pun yang membuatnya untuk mengubah kekurangan buruknya itu. Hal ini pula yang membuatnya semakin mantap untuk menikahi gadis itu meskipun mereka baru kenal. Praka Dedi mengutarakan isi hatinya melalui sambungan telepon dengan gadis itu. Ia siap ditolak dan dijauhi oleh sang gadis. “Terimakasih bukunya, dik. Mas akan coba belajar untuk jadi lebih baik,” ujarnya melalui sambungan telepon malam harinya. Kalimat tersebut paling berat diungkapkannya selama ini meskipun melalui telepon. Namun Praka Dedi sendiri sudah nekat. Apapun jawaban dari sang gadis akan diterimanya. Namun sang gadis justru terdiam. “Iya,” jawab sang gadis singkat. “Dik. Mau tidak, Dik Nurul jadi pacar saya,” ujar Praka Dedi lagi. Namun suara di balik telepon justru sunyi. Tak ada jawaban. “Maksudnya calon istri

Wasiet (26)

MUKHLIS tak dapat menahan tawanya. Demikian juga dengan Syuhada. Mereka berdua hampir saja kencing dalam celana. Sementara Dedi pucat basi. Ia menyesal memanggil kedua teman se-angkatannya itu dan memperlihatkan hadiah dari gadis yang diam-diam dicintainya selama ini. Dedi bermaksud membanggakan diri kalau ia ternyata mampu menaklukan hati gadis muslimah asal Aceh itu. Dedi mengajak kedua sahabatnya itu untuk membuka kado tersebut bersama-sama agar keduanya iri kepada dirinya. Namun siapa sangka, isinya adalah, “Buku Tatacara Salat, Wudhu dan Azan.” Ia kini menyesal. Kedua pria itu justru menertawakannya. “Berarti selama dua hari ini, dia lihat kamu tak bisa salat, wudhu dan azan dengan benar,” ujar Mukhlis sambil tertawa lepas. “Waduh, kami aja gak tahu kamu tak bisa salat dengan benar. Ini hadiah paling special,” kata Syuhada lagi. Sementara Dedi tertunduk lesu. Hadiah dari sang gadis benar-benar membuatnya shock. Paling parah, selama dua hari pula, sang gadis ternyata mengamatinya d