“Di Malaya, ada banyak anak syuhada sepertimu yang berkumpul di sana.”
“Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha.
Ibnu terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini.
Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Ibnu juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup.
“Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.”
Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Ibnu meski bertahun-tahun telah berlaku.
“Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dalam perang. Namun wasiet ayah semasa hidup membuat saya urung memegang senjata,” ujar Ibnu kemudian.
Kedua pria di depan Ibnu terdiam. Mereka mengamati satu sama lain.
“Wasiat seperti apa yang Teungku Fiah sampaikan Nak?” ujar Lemha kemudian. Ada rasa hormat yang terpancar dari wajah pria kurus itu ketika menyebut nama almarhum ayahnya itu.
Aneuk Meuruwa mengamati Ibnu dalam-dalam. Ia seperti kecewa dengan penolakan halus darinya tadi.
“Almarhum tak ingin saya mewarisi dendam. Ia tak ingin saya memegang senjata seperti dirinya dan kedua abang saya semasa hidup,” kata Ibnu kemudian.
“Seandainya Aceh masih konflik pun, ia tetap tak akan mengizinkan saya untuk bergabung sebagai tentara nanggroe. Ia ingin saya sekolah tinggi dan ini yang sedang saya lakukan,” ujar Ibnu lagi.
Penjelasan Ibnu ini sedikit membuat kedua pria di depannya berlega hati. Ini terlihat dari senyuman di wajah mereka.
“Tak ada yang mengajakmu untuk memegang senjata, Nak. Kami hanya mengajakmu ke Malaya sebagai tanggungjawab moral kami kepada almarhum. Di sana kau bisa tetap sekolah tinggi,” kata Lemha.
Pria itu memang pandai berkata-kata. Perkataannya tersebut membuat hati Ibnu tersentuh. Sejak kecil, ia telah melalui banyak cobaan hidup. Baru kali ini ada orang yang memperlihatkan kehidupannya sedemikian rupa.
“Tapi saya sedang menempuh pendidikan tinggi di Darussalam, Teungku. Hanya satu semester lagi selesai. Saya tak ingin pendidikan saya terbengkalai di sini,” kata Ibnu kemudian. Ia tak ingin perkataannya tersebut menyakiti hati kedua sahabat ayahnya itu. Di sisi lain, ia memang tak berniat untuk mengikuti keduanya ke Malaya.
Dua pria di depannya itu terdiam.
“Baiklah, Nak. Kami tak memaksamu. Kami akan kembali ke Malaya dua hari lagi. Tapi kami memiliki orang-orang di sini yang akan menjagamu. Apapun persoalan yang kau hadapi, katakanlah sama dia nanti. Kelak ketika kau ingin melanjutkan Magister di Malaya, katakanlah. Kami akan menjemput dan menyediakan tempat yang layak bagimu di sana nanti,” ujar Lemha.
Sementara Aneuk Meuruwa tersenyum. Ibnu mengangguk. Ia tahu bahwa kedua pria ini tak akan melepaskannya begitu saja.
“Baiklah kalau begitu. Kami meminta izin dulu. Jaga diri baik-baik dan kalau ganti nomor handphone, segera dikabari,” kata Lemha lagi sambil memberi isyarat kepada Aneuk Meuruwa. Keduanya kemudian bangun dan memeluk Ibnu bergantian.
Keduanya mengarah ke mobil Avanza putih yang terparkir tak jauh dari warung. Tiga pria yang duduk di sudut warung juga berdiri dan mengekor mereka serta masuk dalam mobil yang sama. Ibnu terkejut tatkala mengetahui bahwa mereka ternyata berlima.
Ibnu seperti mengenal salah satu dari tiga pria yang menyusul dua sahabat ayahnya tadi. Ia adalah orang yang berulangkali berpapasan dengannya di depan perpustakaan kampus.
Selama ini, Ibnu tak menyangka ia dipandang special oleh rekan-rekan ayahnya.
Ia telah lama dilupakan. Termasuk oleh rekan-rekan ayahnya yang kini menjadi pejabat tinggi di negeri ini.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment