Blang Bintang, 2014
IBNU mengamati sekeliling. Ada hamparan sawah yang menguning sejauh mata memandang. Kemudian ada juga kios kecil di sisi kiri jalan yang relative sepi di sana.
Lokasi ini terletak di dekat Bandara Blang Bintang, kabupaten Aceh Besar. Jauh dari keramaian. Hanya beberapa pengunjung di sana. Konon di lokasi inilah para sahabat dari almarhum ayahnya ingin bertemu.
Saat Ibnu memasuki warung, dua pria berdiri sambil tersenyum. Satu bertubuh kekar dan satu lagi kurus dengan kaki kiri pincang. Ibnu yakin jika kedua pria inilah yang menghubunginya beberapa waktu lalu.
“Saya Aneuk Meuruwa, dan ini Lemha. Kami pernah bersama ayahnya selama hidup. Terimakasih telah datang,” ujar pria bertubuh kekar.
Ibnu mengangguk.
Pria itu kemudian bergantian memeluknya. Ibnu membalas pelukan kedua pria tadi dengan hangat. Ia menghargai kedua pria itu karena mereka mengaku mengenal ayahnya semasa hidup. Setidaknya, itu kata mereka melalui handphone kepada dirinya, beberapa waktu lalu.
“Sejak ayahmu tertembak. Kami terus mencarimu. Namun kalian menghilang tanpa jejak,” ujar Lemha, pria berbadan kurus tadi.
“Kami sangat mirip dengan ayahmu semasa hidup. Bang Man mengaku pernah bertemu dengan orang yang mirip dengan Teungku Fiah. Informasi ini yang membuat kami yakin jika kamu adalah anak Teungku Fiah yang menghilang itu. Kami bertahun-tahun mencarimu dan akhirnya ketemu,” kata Lemha lagi.
Teungku Fiah merupakan sandi ayahnya dalam Gerakan Aceh Merdeka. Sedangkan nama Bang Man yang disebut terakhir tak dikenalnya.
Memang ada sejumlah mantan kombatan GAM yang mencarinya selama beberapa tahun terakhir. Mereka bahkan tak segan untuk datang ke kampusnya. Namun Ibnu sendiri belum tertarik untuk membahas masa lalu orangtuanya.
Ia ingat apa yang disampaikan ayahnya sebelum tertembak dalam perang.
“Walaupun ayah syahid, kau jangan sekali-kali memegang senjata untuk membalas dendam. Biarlah dendam ini terputus pada ayah,” ujarnya. Seminggu kemudian ia terlibat kontak tembak dengan TNI dan tubuhnya bersarang peluru. Informasi ini disampaikan seseorang kepada ibunya. Ibnu sendiri saat itu masih kecil, tapi tahu kondisi yang sedang terjadi.
“Bagaimana kabar ibumu?” ujar pria yang menyebut diri dengan sandi Aneuk Meuruwa tadi.
Ibnu menarik nafas panjang.
“Ibuku sudah lama meninggal teungku. Sejak kematian ayah, kami pindah ke Bireuen. Kami menetap di sana sekitar 3 tahun. Ibuku sakit dan meninggal. Sejak itu, saya dititip di dayah dan kemudian kuliah di sini,” ujarnya pelan. Ada rasa sakit yang luar biasa setiap dirinya mengenang masa lalu itu.
Kedua pria di depannya tertunduk lesu. Mereka seperti kehilangan kata-kata.
“Tak kusangka, perang ini telah meninggalkan banyak luka. Namun akhirnya kita tetap tunduk di bawah pemerintahan Jawa,” kata Lemha.
“Pengorbanan ini tak setimpal dengan hasil yang diraih saat ini. Pemimpin kita saat ini sibuk dengan jabatan dan uang. Celakalah mereka yang berpesta pora dari darah pejuang nanggroe,” tambah Aneuk Meuruwa.
Ketiganya kemudian terdiam. Ibnu tak mau berkomentar soal unek-unek dua pria di depannya itu.
“Apakah kau mendapat dana diyat dari perjuangan ayahmu?” tanya Lemha lagi.
Ibnu menggeleng.
“Tidak teungku. Pemerintah sekarang tak salah. Ini karena saya sendiri yang menutup jati diri selama ini. Saya tak ingin menjual perjuangan orangtua saya dengan sejumlah uang,” kata Ibnu lagi kemudian.
Lemha dan Aneuk Meuruwa tersenyum.
“Kau seperti ayahmu. Mudah-mudahan Allah Swt memberi tempat yang layak untuknya di atas sana,” ujar Lemha lagi.
“Sejak damai, kami berdua hijrah ke Malaya. Kami tak ingin menjual perjuangan ini dengan harta. Kami bermaksud mengajakmu kesana,” kata Aneuk Meuruwa.
Ibnu terdiam. Ia kini mengerti dengan kondisi yang terjadi dan alasan mengapa kedua pria di depannya ingin ketemu dengannya. Namun ia tak ingin cepat-cepat mengambil kesimpulan sendiri.
“Kami tidak ingin perjuangan ini sia-sia, nak. Kami tak ingin sejarah Daud Beureueh terulang. Semoga Allah melaknat mereka yang menjual perjuangan ini dengan setumpuk materi,” ujar Lemha lagi.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment