Ngawi, awal 2010
WARUNG Mang Rojak padat seperti biasanya. Meski terletak di sudut kota, warung kecil miliknya selalu ramai dikunjungi oleh warga. Ini jadi lokasi favorit para muda-mudi untuk menghabiskan waktu usai jam sekolah selesai.
Letak warung ‘Bambu’ yang berhadapan langsung dengan persawahan menjadikan tempat ini terasa asri.
Para pengunjung datang dan pergi. Namun satu meja di pojok kanan tetap dihuni oleh tiga dara cantik yang sama sejak pukul 14.00 WIB tadi. Mereka masih berseragam. Hampir tiga jam mereka di sana dan Mang Rojak tak berani menegur. Maklum, ketiganya adalah langganan setia di warung itu. Padahal Tepo Tahu pesanan mereka sudah habis sejak beberapa jam lalu.
“Ris. Jadi beneran kamu akan daftar kuliah di Aceh?” ujar Sri. Gadis manis ini bertubuh semampai. Rambut hitamnya dipotong sebahu.
Sementara gadis yang dipanggil tadi hanya tersenyum kecut. Gadis cantik berkulit mulus itu memandang jauh kedepan. Tatapannya kosong. Ia seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Ya, gak bisa keluyuran bareng lagi dong kedepan. Nanti aku bakal kangen dengan kalian,” sela Dela, gadis bertubuh mungil di samping Sri.
“Sri. Kamu juga kuliah di Yogya-kan?” ujar Dela lagi.
Kini giliran Sri yang tersenyum dan mengangguk berulangkali. “Yup. UGM aku datang,” ujarnya dengan nada riang yang membuat Dela sebel.
Dela menegakan badan. Wajahnya kemudian beralih ke Riska.
“Ris. Batali kenapa. Kuliah di sini aja. Ngapain ke Aceh. Nanti diculik sama pemberontak di sana lho,” kata Dela lagi mencoba memasang wajah mengiba.
Perkataan Dela disambut dengan senyum Riska. Gadis itu sadar bahwa Dela tak ingin mereka berpisah. Mereka bertiga telah berteman sejak awal masuk sekolah. Suka duka dilalui bersama. Namun kini mereka bakal sulit bertemu jika dirinya ke Aceh dan Sri ke Yogya. Padahal, selama ini ketiganya hampir tiap hari bersama.
“Gak bisa Del. Kasihan ayahku di sana. Dia sendiri,” ujar Riska pelan.
Kini giliran Dela yang terdiam. Beberapa kali, ia mencoba mengubah keinginan kedua sahabatnya itu untuk kuliah di luar Ngawi, tapi tak kunjung berhasil. Dela kemudian menarik nafas panjang dan pasrah.
“Sepertinya kedepan kita makin sulit bertemu ya. Aku bakal rindu berat sama kalian berdua,” ujar Dela sambil memeluk kedua sahabatnya itu. Butiran air mata membasahi pipinya.
Sri mencoba membalas pelukan Dela. Demikian juga dengan Riska.
“Udah ah, jangan nangis. Kan kita masih ketemu di sekolah hingga ujian akhir nanti,” kata Sri.
“Aku bakal pulang sesering mungkin untuk melihatkamu Del. Kalau Riska aku gak tahu, jauh soalnya,” ujar Sri lagi.
“Kan ada telepon. Dunia udah canggih kali,” sela Riska. Dia mencoba menyemangati kawan-kawannya. Dela menyekat air mata dan tersenyum.
“Eh Ris. Aku dengar pemuda-pemuda di Aceh ganteng-ganteng. Banyak keturunan Arab dan Eropa ngitu,” goda Dela ke Riska.
Sri dan Dela kemudian tersenyum. Riska melongo.
“Emang iya Del?” tanya Riska polos. Dela mengangguk berulangkali.
“Iya. Kata bibiku ngitu sih. Ia pernah kesemsem sama pria Aceh waktu kuliah di Jakarta. Tapi rata-rata playboy dan tukang kawin,” kata Dela sambil tertawa lepas. Muka Riska langsung cemberut.
“Udah tue Ris, orang Aceh itu gak suka sama orang Jawa lho. Itu kata bibi-ku juga,” tambah Dela lagi dengan semangat.
Muka Riska tambah cemberut. Sementara Sri cuma tersenyum mendengar candaan sahabatnya itu.
“Kata ayahku enggak ngitu kok. Orang Aceh di sekitar komplek perumahan yang ditempati ayahku baik-baik semua,” bela Riska.
Riska tahu bahwa Dela sedang usil. Tapi sahabatnya ini memang punya tante yang pernah kuliah di Jakarta.
“Mungkin bibimu itu pernah naksir cowok Aceh tapi ditolak. Jadi sakit hati dan buat cerita macam-macam,” ujar Riska.
Mereka kemudian tertawa bareng.
“Jangan nikah sama orang Aceh, ya Ris. Nanti aku gak bisa hadir ke sana. Kamu juga gak akan pulang lagi ke sini,” ujar Dela lagi.
Riska tersenyum. Ia kemudian kembali memeluk Dela dan Sri.
“Tenang. Baru juga mau kuliah. Kok pikirannya udah ke nikah,” kata dia.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment