“Di Malaya, ada banyak anak syuhada sepertimu yang berkumpul di sana.” “Di sana, kita atur ulang perjuangan nanggroe yang telah dijual para pemimpin di Aceh ini. Aku harap kamu bisa ikut kami ke sana,” kata Lemha. Ibnu terdiam. Ia yakin jika kedua pria di depannya itu sedang berkata jujur terkait perjuangan Aceh saat ini. Namun perjuangan bersenjata bukanlah pilihan terbaik dalam kondisi Aceh hari ini. Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Ibnu juga masih mengingat wasiet dari ayahnya semasa hidup. “Jangan pernah kau mengikuti langkah ayahmu ini untuk memegang senjata, nak. Aku tak mau kau mewariskan dendam ini. Biar dendam ini terputus pada ayahmu ini. Tugasmu adalah sekolah yang tinggi.” Kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Ibnu meski bertahun-tahun telah berlaku. “Saya hargai maksud teungku-teungku mengajak saya ke Malaya. Jujur, dulu saya sempat berpikir yang sama usai ayah syahid dalam perang. Namun wasiet ayah semasa hidup membuat saya urung memegang senjata,” ujar Ibnu
berbagi inspirasi berbagi cerita pada dunia dengan menulis