Skip to main content

[Cerbung] Sang Kombatan (15)

 SAAT cahaya fajar menyapa. Mataku masih terkantuk-kantuk. Mulut beberapa kali menguap. Aku memang tak bisa tidur semalam. Beda dengan Saridin yang tertidur pulas di kasur empuk.

Usai salat Subuh. Aku keluar kamar. Pemilik rumah menyapaku dari arah dapur. Ada lingkaran hitam di dekat matanya. Ia masih mengenakan mukena. Wanita itu bertubuh kurus serta sedikit bungkuk. Tingginya cuma sebahu pria dewasa.“Mungkin ia juga tak bisa tidur dari semalam,” pikirku.

“Minum dulu nak,” ujarnya. Wanita ini menghidangkan secangkir kopi hitam serta sepiring pisang goreng di atas meja makan.
“Ia buk. Ibu cepat kali bangun, apa tidak bisa tidur dari semalam,” kataku basa-basi.

“Bukan. Saya memang biasa cepat bangun. Maklum, harus ke Sawah. Sebentar lagi panen, tapi hama tikus banyak sekali belakangan ini. Harus dijaga ekstra agar tak habis dirusak,” katanya. Aku tak tahu, entah wanita itu berbohong demi menyenangkan hati kami atau tidak.

“Dari semalam, saya tak melihat Si Bapak dan anak-anak ibu. Kemana mereka?” tanyaku lagi.

Mendengar pertanyaan ini, wanita paruh baya itu tiba-tiba menitikan air mata. Aku menyesal menanyakan hal itu kepadanya.

“Suami saya dijemput oleh beberapa pria berseragam loreng satu bulan sebelum darurat militer diterapkan. Hingga kini belum pulang,” ujarnya dengan nada berat. Air matanya jatuh membasahi mukena.

“Anak saya yang sulung sekarang bekerja di Malaysia. Sedangkan yang perempuan saat ini kuliah di Aceh (Banda Aceh). Sengaja memang saya suruh ke luar (Kandang) agar tak jadi korban salah sasaran,” katanya lagi.

Aku menjadi serba salah. Seharusnya aku tidak menanyakan itu, karena posisiku sendiri sebagai Tentara Nanggroe.
“Maaf jika perlawanan yang kami lakukan saat ini telah berimbas tak baik bagi keluarga ibu. Mungkin ini sangat berat bagi ibu dan keluarga,” ujarku.

“Tak ada yang salah Nak. Mungkin ini memang takdir bagi saya. Kamu juga pasti memiliki alasan sendiri untuk melakukan pemberontakan. Semua punya alasan masing-masing,” ujarnya.
Ia kemudian bergegas ke dekat lemari. Di sana ia mengambil dua lembar foto dan memperlihatkannya kepadaku.

Di foto pertama, terlihat beberapa pria sedang tertawa di samping kuali besar berisi daging sapi. Ada tiga pria terlihat duduk sambil merokok dan satu pria berpeci hitam yang memegang gayung.

“Ini foto suami saya. Ini foto tiga Minggu sebelum Bapak dijemput. Foto ini acara tetangga sebelah saat kenduri. Bapak yang memakai peci hitam,” kata wanita itu. Aku cuma mengangguk.

“Kalau ini, foto anak lelaki saya yang di Malaysia. Orangnya kurus dan tinggi. Mungkin ikut darah dari ayahnya yang memang tinggi. Mudah-mudahan dia sehat-sehat saja. Sudah dua bulan dia di sana,” ujarnya lagi sambil memperlihatkan pasfoto jadul milik anaknya.

“Ini foto SMA atau kapan Buk? Kelihatannya udah lama,” tanyaku.
Wanita tadi tersenyum. “Ia, pasfoto ijazah SMA. Sekitar 4 tahun lalu. Namun tak banyak perubahan dia,” katanya.

Aku terdiam. Demikian juga dengan wanita itu.
“Oya, kalau boleh saya tahu, nama ibu siapa,” ujarku lagi mengalih pembicaraan.

“Aminah. Orang di sini biasanya memanggil Nek Minah,” jawabnya.

“Kalau saya, Musa. Musa Abdullah dari Kemukiman Teungku Chik di Paloh,” ujarku lagi tanpa diminta. Wanita itu tersenyum.

“Diminumlah kopinya. Pisang gorengnya juga masih hangat. Kamu pasti lapar,” kata Nek Minah.

Aku mengangguk. Kuambil segelas kopi dan mencoba meminumnya. Namun tak senikmat biasanya. Perasaan tak enak karena kisah Nek Minah tadi membuat selera makanku berkurang. Padahal kopi yang disajikan adalah kopi Gayo.

“Pisangnya dimakan juga. Ini dari hasil kebun di belakang rumah,” kata Nek Minah. Ia berbicara sambil meletakan kembali dua lembar foto tadi dalam lemari di belakangku.
Aku mencoba menyantap sepotong pisang goreng tadi. Lumayan enak.

Selang beberapa menit kemudian, Saridin muncul dari arah belakang. Ia terlihat segar bugar. Pria berwajah datar ini meraih gelas kosong dan mengisinya dengan kopi. Ia kemudian meneguknya hingga setengah.

Saridin juga menghabiskan beberapa potong pisang goreng hangat hanya dalam hitungan menit.

Saridin sendiri adalah mantan Panglima Daerah I Teungku Chik di Paloh. Saat damai COHA – sebelum darurat militer – Saridin diutuskan ke Kuala Tripa mewakili Komandan Operasi GAM bersama Teungku Amri Abdul Wahab. Ia pulang ke Kandang seiring dengan isu akan adanya darurat militer.

“Pisang goreng Nek Minah ini sangat enak. Apa bisa dibungkus untuk teman-teman,” ujar Saridin tak berperasaan. Nek Minah mengangguk. Aku cuma geleng-geleng kepala. Nek Minah kemudian sibuk mencari kantong plastic untuk mengisi sisa pisang goreng seperti permintaan Saridin.

“Saridin hanya bercanda Nek Minah. Tak perlu repot-repot,” ujarku tak enak hati.
“Aku serius,” kata Saridin lagi dengan kalimat tak berdosanya.
“Ia tak apa-apa. Saya juga iklas kok,” ujar Nek Minah lagi.

Sekitar pukul 08.00 WIB, aku dan Saridin meminta izin pamit pada Nek Minah. Aku menatap Nek Minah dengan perasaan campur aduk. Rasa kantuk seolah hilang. Ini karena aku salut dengan keteguhan hati wanita itu. Kehilangan suami dan tinggal seorang diri ternyata membuatnya tetap tegar menjalani hidup.
“Mungkin ada ribuan sosok seperti Nek Minah akibat konflik ini. Oh Tuhan, limpahlah rahmad dan karuniamu untuk mereka,” ucapku dalam hati. [Bersambung]

Cerita bersambung ini karya Musa AM

Comments

Popular posts from this blog

Mudifah atau kunjungannya anak pondok

Hari kunjungan atau yang mereka sebutkan mudifah merupakan hari yang menyenangkan bagi anak pondok pesantren, karena hari itu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Yups, hari yang begitu special seperti lebarannya anak pondok.pada hari kunjungan mereka bisa bertemu dengan sanak family dan semua keluarga besarnya, bayangkan mulai pagi hari mereka udah mulai antri hp dipengasuhan dengan batas waktu yang ditentukan mereka lengkap memesan semua pesanan sama keluarganya, yang paling utama adalah makanan, mulai dari nasi sampai dengan makanan penutup. Yang penulis herankan, terkadang dari segoni pesanannya cuma satu  yang dimakan,padahal semua makanan yang pesan sama aja dengan makanan sehari-hari di pondok juga, ah mungkin itu bawaan dari orangtua jadi berasal paling maknyuus gitu. Mudifah kata yang tak asing bagi penghuni pondok, yang kata mereka pondok adalah penjara suci,,,banyak istilah bagi mereka anak pondok, ada yang namanya penjara suci ?? tidak  lain adalah pesantren. Jadi...

REAKSI EKSOTERM DAN REAKSI ENDOTERM

  Soal Diskusi Soal 1. Ciri-ciri reaksi eksoterm adalah A. Sistem menyerap kalor dari lingkungan B. Lingkungan menyerap kalor dari sistem C. Sistem dan lingkungan memiliki kalor sama D. Kalor sistem dan lingkungan jika dijumlahkan sama dengan nol E. Pada akhir reaksi, kalor lingkungan selalu lebih kecil dari kalor sistem Soal 2 . Jika reaksi antara logam barium dengan asam klorida encer di campurkan ke dalam tabung reaksi yang  tersumbat dengan rapat, gas hidrogen di dalam sistem tidak dapat meninggalkan sistem tetap terjadi perubahan energi melalui dinding pada tabung reaksi. pada percobaan ini termasuk ke dalam ... A. Sistem tertutup B. Perubahan entalpi C. Sistem terbuka D. Perubahan energi dalam  Evaluasi E. Sistem terisolasi Soal 3. Pernyataan di bawah ini yang termasuk ke dalam reaksi Endoterm adalah .... A. Besi berkarat B. Air mengalir C. Ledakan bom D. Pembuatan es batu dan air E. Pembakaran kayu Soal 4. Proses reaksi di alam yang berlangsung spontan seperti pert...

JUJUR MENUJU KEMENANGAN

Puji dan syukur marilah sama-sama kita ucapkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan NikmatNya kepda kita semua. Allah yang telah menghiasi manusia dengan kejujuran menghiasi malam dengan bulan purnama. Shalawat dan salam marilah sama-sama kita sanjungkan kepada seorang pemuda arab,imam diwaktu sholat ,pemimpin diwaktu perang, buah hati siti aminah dan jantung hati siti khadijah. Tidak lain dan tidak bukan yakni nabi besar Muhammad SAW. Yang telah menuntut umat manusia dari alam yang salam kea lam yang benar, dari alam yang penuh kebohongan ke alam yang penuh kejujuran. Bapak dewan hakim, bapak dan ibu pendamping, teman –teman peserta lomba, dan hadirin yang saya hormati. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan pidato dengan judul: “JUJUR MENUJU KEMENANGAN ” Tema kejujuran tengah menjadi buah bibir banyak orang. Dikoran, televise, warung kopi, ruang belajar bahkan dipasar. Kejujuran hadir dengan gaung yang membahana. Kita seakan baru mengenal k...