USAI subuh, Teungku Fiah memerintahkan Mustafa dan para anggota lainnya untuk berkemas-kemas. Mereka harus meninggalkan kamp tersebut agar tidak terlacak oleh tentara republik.
Menurut informasi yang diperoleh dari intelijen tentara nanggroe, tentara republic kini mengetahui bahwa penyerangan yang terjadi di Julok merupakan perbuatan pasukan Teungku Fiah.
Beberapa kompi pasukan republic diturunkan serta sedang menyisir sebahagian Julok serta Nicah Awe. Kabarnya, tentara republic bahkan menurunkan kendaraan berlapis baja untuk menangkar taktik perang pasukan Teungku Fiah.
Sedangkan Teungku Fiah memutuskan untuk mundur ke pedalaman Panton Labu. Ia sedang tak ingin terlibat perang terbuka dengan pasukan republic. Konon lagi mereka sedang berduka setelah meninggalnya Si Cah dan Si Lah.
“Untuk saat ini, kita mundur ke pedalaman dulu. Ada saatnya kita melawan dan ada saatnya kita mundur,” ujar Teungku Fiah.
Semua pasukan mengangguk setuju. Perjalanan pun kemudian dimulai. Mereka melintasi perkampungan hingga akhirnya tiba di pedalaman Panton Labu.
Mereka tiba di sana jelang magrib. Rapatnya pertahanan tentara republic membuat gerak pasukan Teungku Fiah lebih lamban.
Namun baru beberapa menit tiba, sebuah informasi tak sedap masuk melalui HT tentara nanggroe.
“Teungku semalam, rumah teungku disergap tentara republic,” ujar Lemha.
Informasi ini membuat Teungku Fiah terkejut. Demikian juga dengan anggota lainnya. Wajah Teungku Fiah pucat.
“Bagaimana dengan anak istriku?”tanyanya kembali. Namun Lemha terdiam tak berkata-kata.
“Bagaimana keadaan anak-anakku?” ujar Teungku Fiah lagi.
Lemha mematung. Sementara Mustafa yang berdiri di belakang Lemha juga tak berani berkata-kata.
“Kabarnya Raman diambil tentara republic,” ujar seorang anggota pasukan lainnya.
Mendengar hal ini, tubuh Teungku Fiah tiba tiba roboh ke tanah. Ia sadar dengan situasi yang sedang terjadi. Tak ada kesempatan untuk kembali hidup-hidup bagi tentara nanggroe yang tertangkap.
Wajah Teungku Fiah menitihkan air mata. Ia menyesal tak memenuhi harapan anaknya itu untuk bertemu dengan dirinya saat disampaikan Mustafa semalam.
Raman adalah anak lelaki tertuanya. Ia mengikuti langkahnya untuk bergabung dengan pasukan nanggroe. Sosok itu lebih banyak diabaikan oleh dirinya selama bergabung dengan pasukan nanggroe. Namun sikapnya ini tak membuat Raman berubah sikap serta mundur dari posisi tentara nanggroe.
Kini kabar duka tadi menyelimuti pasukan Teungku Fiah. Efek dari penyerangan di Julok, ternyata berimbas ke keluarga Teungku Fiah. Mereka menyesal telah bergerak di luar peunutoh komando.
“Bagaimana dengan kondisi anakku yang lain?” tanya Teungku Fiah tiba-tiba.
“Kabarnya mereka bertiga pindah ke kawasan pusat Simpang Ulim. Ke rumah saudara istri teungku,” kata Lemha.
“Saya sedang mencari informasi dimana Raman ditahan teungku. Seluruh pasukan Peureulak siap memberi perlawanan jika lokasi Raman ditahan dapat diketahui,” ujar Mustafa lagi.
Sementara Teungku Fiah terdiam lesu. Ia tahu bahwa kemungkinan tersebut sangat kecil. Selama ini, banyak tentara nanggroe yang tertangkap ‘dihabisi’ dalam perjalanan. Kecuali, mereka yang tertangkap mau buka suara dan akhirnya jadi cuak bagi tentara republic.
Namun bagi Teungku Fiah, Raman tak akan pernah masuk dalam katagori terakhir. Maka kemungkinan pertama diperkirakan bakal terjadi.
“Innalillahi,…”
[Bersambung]
Comments
Post a Comment