+++
Malam kian larut. Namun di atas balai, Mustafa melihat Teungku Fiah belum juga tertidur. Ada cahaya senter yang masih menyala di sana.
Mustafa mencoba mendekat. Dugaannya ternyata benar adanya. Teungku Fiah ternyata belum tidur. Sosok yang dituakan dalam pasukan itu ternyata diam-diam mengamati selembar foto yang terlihat gambar seorang wanita dengan bocah berusia sekitar 6 hingga 7 tahun. Itu adalah foto istri dan anak terkecil Teungku Fiah.
“Belum tidur teungku?” ujar Mustafa menyapa.
Teungku Fiah terkejut dengan sapaan Mustafa. Ia buru-buru menyimpan foto anak dan istrinya itu.
“Kalau Teungku rindu dengan keluarga, Teungku dapat pulang sebentar untuk membesuk. Bukankah dari sini ke Nicah Awe tak jauh. Saya siap mengawal teungku dalam perjalanan,” ujar Mustafa.
Sebagai pasukan nanggroe, ia tahu bagaimana kerinduan yang sering dialami oleh para tetua yang meninggalkan keluarga di kampung. Mereka bahkan tak memiliki kesempatan untuk melihat wajah istri dan anaknya. Apalagi ketika keluarga di kampung sakit. Ada perasaan bersalah tatkala itu terjadi.
“Aku tak mau melanggar aturan hanya untuk keluargaku, Mustafa. Aturan kita berlaku untuk semua, termasuk diriku.”
“Saat ini patroli tentara republic kian gencar. Aku tak mau jumlah kita kembali berkurang hanya untuk kepentinganku semata. Kita memang siap untuk meninggal, tapi di medan perang,” ujar Teungku Fiah.
Teungku Fiah kemudian terdiam. Tak lama kemudian, ia tersenyum.
“Kau tahu Mustafa, entah kenapa aku tiba-tiba kangen sama anakku terkecil.”
“Sebelum bergabung dengan tentara nanggroe, aku sudah memiliki dua anak laki-laki. Abdurrahman dan Budiansyah. Keduanya kini sudah besar dan hanya terpaut dua tahun. Abdurrahman kini bergabung dengan tentara nanggroe mengikuti jejakku. Sementara Si Budi tinggal bersama ibunya di Nicah Awe.”
Mustafa tersenyum dengan penjelasannya tetua itu. Ia kenal dengan salah satu anaknya Teungku Fiah. Ini karena mereka hampir seumuran. Rahman, demikian memanggil sosok itu, merupakan anak Teungku Fiah memiliki karakter yang sama seperti ayahnya. Ia adalah orang-orang yang bersikap nekad dalam peperangan.
Sedangkan Budi sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Sosok itu berulangkali mendaftar tentara nanggroe, tapi atas permintaan Teungku Fiah, semua pasukan di Simpang Ulim, menolaknya.
Teungku Fiah berharap sosok itu menjalani kehidupan normal. Ia ingin anaknya itu menjaga ibunya di kampung.
Sedangkan untuk anak terakhir, Mustafa, tak mengenalnya sama sekali. Itu karena anak terakhir Teungku Fiah itu masih sangat kecil.
“Selama jadi tentara nanggroe, aku jarang pulang. Aku dan istriku juga sudah tua. Aku pulang hampir satu bulan sekali. Bahkan kadang hampir dua bulan sekali. Namun siapa tahu kehendak tuhan, dari pertemuan singkat tadi, istriku justru kembali hamil dan kemudian melahirkan anak ketiga,” ujar Teungku Fiah.
“Di awal-awal istriku hamil, aku sempat malu. Aku sudah jadi kakek-kakek, tapi istriku masih saja hamil. Namun itu adalah anugrah terindah yang kami miliki,” kata Teungku Fiah.
Teungku Fiah kemudian terdiam. Ia mengambil foto dan mengamati foto tersebut dengan sesama.
“Anakku ini kuberi nama Ibnu Hajar. Si anak batu. Aku tak ingin ia menjadi lelaki lemah ketika aku tiada nanti. Aku berharap ia bisa tumbuh besar dan menjadi anak yang berguna di masa depan nanti.”
“Kelak ketika ia besar, aku berharap ia bisa tumbuh dengan baik dan konflik di Aceh telah selesai. Aceh telah merdeka,” ujar Teungku Fiah.
Ia kemudian tersenyum. Demikian juga dengan Mustafa.
“Tapi aku sendiri tak yakin kapan kita akan merdeka,” kata Teungku Fiah lagi.
“Malam ini, aku tiba-tiba sangat merindukan mereka. Aku pikir mereka juga sedang merindukanku,” ujarnya lagi.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment