Praka Dedi tertunduk lesu usai salat Ashar. Ia hampir saja mempermalukan diri sendiri. Untung muazin datang tepat waktu. Pria itu muncul bersamaan ia hendak memegang mikrofon untuk azan.
Ia hampir terjatuh saat itu. Beban besar yang diletakan oleh sang imam masjid mendadak hilang. Entah bagaimana ia harus berterimakasih pada muadzin tadi. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan diberitakan media cetak di Surabaya besok harinya jika dirinya benar-benar azan tadi.
Mempermalukan institusi! Penodaan agama atau tuduhan radikal lainnya. Ia lebih memilih lari 30 kali mengelilingi lapangan Brawijaya dari pada azan di masjid.
Ia benar-benar tak semangat.
“Hai Mas,” ujar seorang wanita dari arah belakang.
Sang Praka menutup mata. Ia yakin jika sang gadis tahu apa yang terjadi. Ia benar-benar malu dengan dirinya sendiri.
“Hai dik,” jawab ia datar.
Sang gadis membalasnya dengan senyum termanis. Senyuman itu seolah membuat semangatnya bangkit lagi. Ia berdiri. Namun sebelum mengucapkan sesuatu, sang gadis kembali memberondongnya dengan kalimat lainnya.
“Ada bawa mobil?” tanya Nurul.
Praka Dedi menggeleng kepala. Ia cuma menunjukan kunci sepeda motor.
Nurul terdiam sesaat. Ia kemudian tersenyum. “Jalan kaki aja boleh? Nanti kita kembali ke sini. Sepeda motor Mas aman kok di parkir masjid.”
Dedi menarik nafas dalam-dalam. Ia hampir saja salah duga terhadap gadis yang baru beberapa hari dikenalnya itu. Ia sempat berpikir kalau sang gadis matre saat bertanya ia membawa mobil tadi. Sebagai prajurit berpangkat kecil seperti dirinya, tentu ia masih tergolong susah untuk beli mobil.
Nurul berjalan keluar area masjid. Sementara dirinya mengekor dari arah belakang. Mereka tak berbicara sepatah kata pun. Ia takut bertanya atau jalan mendahului sang gadis. Hampir 20 menit mereka berjalan kaki. Beberapa warga yang ditemui sepanjang jalan terlihat senyum penuh arti ke arah mereka.
Sang gadis kemudian memasuki area pertokoan. Ia sepertinya paham dengan seluk beluk jalan di sekitar Surabaya.
Langkah mereka kemudian berhenti di depan toko es buah.
“Mas tunggu di warung itu sebentar bisa? Cuma 15 menit. Nurul mau ke toko buku sebentar,” ujar Nurul.
Praka Dedi mengangguk. Ia begitu nurut sama gadis itu. Entah dia dipelet atau bagaimana. Namun Dedi sendiri senang bisa bertemu dengan sosok muslimah itu. Biarpun gaya ‘pedekate’ mereka terbilang tak wajar untuk zaman ini.
“Nurul titip es buah satu ya. Dibungkus,” ujar sang gadis. Sedangkan Praka Dedi tersenyum.
Usai sang gadis berlalu, ia memesan dua es buah. Satu untuk diminum langsung dan satu lagi dibungkus. Praka Dedi mulai memahami mengapa sang gadis menanyakan ia membawa mobil tadi. Sang gadis sepertinya tak nyaman naik motor berduaan dengan pria non muhrim. Jika naik motor, tentu sang gadis harus berpegangan pada pinggangnya.
Sang gadis lebih memilih jalan kaki daripada boncengan dengan dirinya.
Demikian juga saat sang gadis minta es buah miliknya dibungkus. Wanita itu juga tak nyaman minum semeja dengan lawan jenis.
“Tipe calon istri idaman,” gumam Dedi dalam hati.
Praka Dedi menyedot es buah miliknya dengan antusias. Ia benar-benar haus. Dalam sekejap, gelasnya kosong. Tragedi di dalam masjid membuatnya benar-benar panic. Ia tak seharusnya berbohong. Ini merupakan kali pertama ia berbohong agar terlihat keren. Ia tobat dan tak ingin kejadian serupa kembali terulang di masa depan.
Seperti janji sang gadis, ia kembali dalam 15 menit.
“Mas kita balik ke masjid boleh? Nurul mau pulang,” ujar dia.
Sang Praka tersenyum dan mengangguk. Ia membayar minuman dan menyerahkan sekantong es buah kepada Nurul.
Dedi kembali mengikuti langkah sang gadis itu dari arah belakang. Ia tak ingin berjalan beriringan dan membuat kesan tak baik di mata gadis muslimah itu.
“Muslimah serta kelahiran Aceh. Tentu kualitas teruji serta langka.”
Usai kembali tiba di komplek masjid, sang praka langsung menuju ke area parkir. Namun sang gadis buru-buru menghalanginya.
“Mas. Nurul ada hadiah untuk Mas. Mohon diterima ya. Nurul tidak mau hadiah ini dibuang dan tidak dibaca,” ujar sang gadis.
Hadiah tersebut terbungkus rapi. Dedi menduga jika hadiah tersebut adalah buku. Ia sering menerima hadiah novel dari para gadis saat SMA. Kali ini hadiah yang sama, ‘mungkin’ juga datang dari Nurul.
“Kalau begitu Nurul izin pamit ya. Rumah Wawak (saudara-red) Nurul di belakang masjid. Terimakasih telah bersikap baik selama upacara pemakaman militer di Brawijaya. Mas datang pagi-pagi dan menjaga keluarga Nurul dari pagi hingga selesai,” ujar sang gadis sambil menyerahkan hadiah.
Praka Dedi terdiam. Ia tersanjung karena sang gadis ternyata memperhatikan aktivitasnya saat itu.
“Gadis itu ternyata juga memperhatiku,” gumam Dedi.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment