Surabaya, Maret 1991
MARKAS Kodam Brawijaya siaga satu. Ini adalah hari berkabung bagi prajurit di sana. Dari ratusan prajurit yang ditugaskan ke daerah konflik, 12 akhirnya dipulangkan lebih cepat. Mereka kembali dalam peti jenazah dan bendera merah putih di atasnya. Para prajurit itu gugur dalam tugas.
Mayjen TNI R. Hartono selaku pimpinan tertinggi memerintahkan jajarannya untuk mengadakan upacara militer sebagai penghormatan resmi.
Untuk itulah, Praka Dedi siaga di lokasi upacara. Ia ditugas untuk memastikan keluarga para prajurit yang gugur mendapat tempat yang nyaman serta leluasa selama upacara berlangsung.
Sebagai prajurit, tugas tersebut merupakan suatu kehormatan baginya. Ia tidak ingin para keluarga ini merasa tak betah serta mendapat prilaku yang kurang menyenangkan selama upacara berlangsung.
Ini merupakan kali pertama baginya mendapat tugas yang berhubungan dengan upacara militer. Ia tidak ingin kesalahan dalam bersikap yang dilakukannya berubah jadi kekecewaan bagi keluarga patriot bangsa yang gugur.
Namun suasana masih pagi. Sedangkan iringan peti jenazah baru tiba sekitar pukul 11.00 nanti. Saat itulah upacara penyambutan militer berlangsung.
Praka Dedi mengamati sekeliling lokasi. Hanya beberapa prajurit sepertinya yang mematung di tiap sudut sambil menenteng senjata.
Sedangkan di tengah-tengah tenda utama, hanya satu orang wanita muda dengan pakaian muslimah duduk seperti patung. Konon ia sudah duduk di sana sejak subuh tadi begitu tiba dari Aceh.
Jilbabnya panjang. Paras wajahnya cukup cantik. Tubuhnya tertutup dengan pakaian muslimah.
Pandangan itu membuat Praka Dedi cukup betah berada di lokasi. Setidaknya pemandangan itu mampu mengusir rasa bosannya yang harus bangun pagi-pagi. Sebagai prajurit, ia sebenarnya sudah terbiasa melihat kematian. Ketika mereka bertugas ke daerah konflik, maka hanya ada dua pilihan, ditembak atau menembak. Membunuh atau pulang dengan peti mati.
Praka Dedi diam-diam terus memantau wanita muslimah itu dari kejauhan. Wanita muda itu seperti sangat berat melepas kepergian orang tua yang gugur dalam perang. Air mata terlihat berulangkali jatuh dan membasahi wajah cantik itu. Tapi ia tetap tak bergerak seolah tubuh cantik di sana ikut menjadi mayat hidup tanpa roh. Itu membuat Praka Dedi turut merasakan kesedihan.
Praka Dedi sangat ingin mendekati sang wanita muda itu serta menghapus air matanya. Ia ingin menghibur tapi tugasnya di lokasi hanya berdiri untuk memastikan lokasi upacara aman.
Jika ia pergi mendekati wanita tadi, ia khawatir akan membuat para petinggi marah. Membuat sang wanita tak nyaman dan akhirnya akan berdampak tidak baik dalam komunikasi nanti. Ia bisa-bisa dihukum jika membuat suasana bertambah runyam dan sedih.
Praka Dedi paham dengan suasana hati sang wanita muda di depannya. Sebagai prajurit, dirinya sejak awal sudah diingatkan bahwa kematian dalam tugas bisa datang kapan saja. Tapi melihat orang tercinta gugur dalam tugas merupakan hal yang tersulit, seperti halnya wanita tadi.
“Semoga kesedihan ini membuatmu lebih tegar. Tumpahkan air matamu sebanyak mungkin hari ini. Agar nanti sesuai pemakaman, kau lebih baik,” gumamnya dalam hati. Ia berharap sang wanita itu baik-baik saja.
Sebagai prajurit, Praka Dedi biasanya tak peduli dengan baik buruk. Tak peduli dengan salah dan benar. Ia hanya alat negara yang siap dikirim kemanapun untuk berperang dan meredam konflik dengan senjata.
Ia hanya mesin atau pion dari catur para elit. Terserah gerak dan kebijakan yang ditempuh para penguasa negeri ini, benar atau salah, ia akan tetap bekerja sesuai instruksi.
Tapi melihat sang wanita yang berumur jauh lebih muda darinya terluka hari ini, Praka Dedi tetap merasa berduka.
Seandainya orang-orang di Aceh tak mengobarkan pemberontakan, tentu para prajurit tak harus kesana. Tak harus saling bunuh. Di Aceh, ia yakin lebih banyak kematian. Kematian dari para prajurit yang menjadi korban catur sang penguasa.
Entah kenapa, ia begitu benci dengan orang-orang Aceh yang menyulut perang. Ia benci dengan para pemberontak.
“Seandainya tak ada pemberontakan, maka tentu tak air mata seperti wanita muda itu.”
[Bersambung]
Comments
Post a Comment