+++
“Ibnu?” tanya Riska usai salat Magrib. Saat itu, ia dan Raina berada di kamarnya. Riska sepertinya masih penasaran dengan sosok pria muda yang baru dikenalnya di perpustakaan tadi.
“Kami satu letting dan sama-sama jurusan Sejarah FKIP Unsyiah,” kata Raina lagi.
Saat menceritakan hal tadi, wajah Raina terlihat memerah. Namun tiba-tiba gadis mungil itu menggeleng kepala berulang kali. Raina seperti sedang menyadarkan diri dari lamunannya.
“Jadi pria itu gay?” tanya Riska lagi penasaran. Ia seperti kecewa.
Raina tertunduk lesu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Riska.
“Gak tahu sih. Soalnya banyak yang naksir sama Ibnu tapi ditolak semua. Mulai dari kakak letting hingga mahasiswa baru seperti.”
“Sepertinya Ibnu memang gak suka sama perempuan. Makanya berhembus isu kalau dia sebenarnya gay,” ujar Raina lagi.
Riska kesal dengan jawaban Raina.
“Masak sembarangan menuduh orang gay. Orangnya ganteng kayak ngitu kok dituduh gak normal?” ujar Riska.
Alis mata Riska berkerut. Ia kemudian seolah-olah paham dengan apa yang terjadi. Riska memandangi wajah Raina dalam-dalam. Raina sendiri tersiput malu.
“Jangan bilang Mbak Raina suka sama lelaki itu?” todong Riska. Namun Raina kembali terdiam. Kali ini lebih lama.
“Jadi bener?” ujar Riska lagi. Kali ini dengan nada kecil.
Riska dan Raina kemudian sama-sama terlihat lesu. Raina menutup wajah dengan bantal guling milik Riska.
“Tapi aku udah ditolak Ris. Aku udah nyerah kejar dia,” ujar Raina kemudian dengan lesu. Rambut Raina yang ikal jadi berantakan.
“Aku suka sama Ibnu saat pertama kali masuk kuliah. Ia sangat baik tapi kaku dan terlalu misterius. Jadi semester pertama, aku ungkapi perasaan sama Ibnu dan ternyata ditolak.”
“Bukan aku saja yang ditolak. Semua wanita yang menyatakan cinta sama dia juga ditolak. Makanya di FKIP, terutama mahasiswi menyebutnya gay,” kata Raina lagi.
Riska terdiam. Kata-katanya seakan terkunci.
Namun Riska tak percaya penuh dengan apa yang disampaikan oleh Raina. Ia justru tertantang untuk membuktikan bahwa lelaki itu masih normal. Di Ngawi, Riska dengan mudah bisa menaklukan lelaki manapun yang dia mau.
“Mbak Raina, kita taruhan bisa? Aku yakin lelaki tadi masih normal. Ya mungkin cara mbak dekati aja yang salah,” ujar Riska kemudian.
“Aku bantu mbak Raina dengan mencari informasi tentang lelaki tadi. Kalau berhasil, aku mau mbak Raina traktir aku makan tiap Minggu.”
Raina terlihat senang dengan tawaran Riska. Ia tidak masalah jika harus mentraktir Riska setiap hari. Toh, selama ini pun, saat mereka bersama dan kemanapun, ia yang selalu membayar makanan.
Apalagi, Riska sudah dianggap lebih dari tetangga dan teman. Ia menyukai gadis cantik itu.
Raina mengangguk berulangkali.
“Tapi jangan sampai kamu yang jatuh cinta dengan Ibnu ya Ris! Ingat itu, kalau justru kamu yang jatuh cinta dengan Ibnu, perjanjian kita batal demi hukum,” ujar Raina kemudian. Sedangkan Riska tersenyum. Riska merasa tertantang.
“Baik mbak. Tenang saja. Riska professional dalam urusan asmara,” ujar Riska lagi.
Keduanya kemudian berpelukan erat serta guling-guling di kasur.
“Mbak Raina kasih ke aku jadwal kuliah, serta data data lain yang mungkin diperlukan. Mulai besok, aku akan menginteli mas Ibnu,” ujar Riska kemudian sambil berbaring bersama Raina.
Raina mengangguk. Raina bangkit dan memandangi Riska dari ujung kaki hingga rambut. Gadis itu sangat cantik. Ia seperti model. Dengan kecantikan seperti itu, ia tentu akan dengan mudah merebut perhatian siapapun. Sedangkan dirinya….!
Raina tiba-tiba tersentak. Ia baru sadar sesuatu.
Ia kemudian mendekati wajahnya dengan wajah Riska. Jarak pandangan mereka hanya beberapa inci.
“Ris, jangan bilang kalau kamu menggunakan taruhan tadi untuk merebut Ibnu dari aku kan?”ujarnya. Riska sempat terdiam. Ia tersengat dengan sorotan tajam Raina.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment