Sungai Lamnyong tak sejernih sungai-sungai di Eropa. Bahkan terkadang, air berubah keruh saat musim hujan tiba. Banyak juga sampah yang mengapung di sana.
Namun Riska tampaknya cukup menikmati suasana ya
ng nyaman di sana. Sosok itu terlihat mematung sambil memandang jauh kedepan. Entah apa yang dipikirnya. Raina membiarkan Riska dengan lamunannya.
Ia asyik dengan bakso bakar yang dibeli tadi. Raina melahab satu persatu.
“Enak.”
Riska memalingkan wajahnya ke arah Raina. Wajah gadis cantik itu terlihat serius.
“Rai. Seperti apa Aceh semasa konflik,” ujar Riska.
Raina tahu bahwa pertanyaan kali ini tak sekedar pertanyaan biasa. Pertanyaan ini erat kaitannya dengan masa lalu orangtuanya yang harus meninggalkan Aceh karena factor keamanan.
“Aku tak tahu Ris. Aku tinggal di Banda Aceh. Daerah ini masih terbilang normal saat konflik berlangsung meskipun banyak demo. Aku juga masih kecil saat damai berlangsung,” ujar Raina.
Riska terdiam. Ia sepertinya tidak puas dengan jawaban Raina.
“Yang pasti bukan keluargamu saja yang menjadi korban selama konflik, Ris. Ada banyak keluarga yang harus meninggalkan Aceh saat konflik berlangsung. Kemudian di kampung-kampung, ada banyak janda serta yatim piatu,” ujar Raina kemudian.
“Setidaknya itu yang aku baca dan aku dengar. Daerah ini seperti gadis cantik pendiam yang terluka. Saat ini ia sedang melampiaskan kekecewaannya selama ini. Aku cuma berharap damai seperti sekarang berlangsung lama. Aku terlalu sedih melihat ayahku terbangun di tengah malam dan menangis,” katanya lagi.
Riska terkejut mendengar pengakuan Raina.
“Kau tahu Ris. Ayahku orang Aceh tulen. Ia berasal dari pedalaman Aceh Utara sana yang menjadi basis konflik. Bertahun-tahun ia tidak bisa pulang ke kampung halaman karena karena seragamnya itu,” ujar Raina pelan.
Riska lagi-lagi terdiam. Ia tidak tahu jika keluarga Raina lebih terluka dari keluarganya selama ini.
“Saat kecil aku terbiasa mendengar kalimat, anak Si Pai saat pulang kampung bersama mamakku. Itu sangat sakit. Seolah-olah ayahku adalah pembunuh dan pengkhianat,” kata Raina. Ia kemudian terdiam.
Riska teringat dengan percakapannya dengan sang ayah beberapa waktu lalu.
“Tak ada yang berharap konflik itu terjadi, Nak. Kakekmu tertembak saat tugas adalah takdir. Setidaknya itu kata Mamakmu dulu. Ia yang mengajarkan ayah soal keikhlasan. Ia tidak pernah menyalahkan orang-orang yang menembak kakekmu.”
Riska kini paham dengan kata-kata ayahnya itu. Ia juga paham dengan apa yang disampaikan oleh Raina.
“Terlalu banyak luka di daerah ini ya Ris! Padahal Aceh sangat indah. Negeri terindah dengan luka yang mendalam. Aku berharap luka ini segera sembuh,” ujar Riska. Raina mengangguk tanda setuju.
Keduanya kemudian terdiam dan memandang lurus kedepan. Saat itu hari sudah mulai sore. Garis-garis hitam mulai terlihat di langit.
Tak sengaja Riska menatap seorang pria muda yang sedang tertidur, di atas rerumputan, tak jauh dari lokasi dirinya dan Raina berada. Wajah sang pria tadi terlihat akrab. Ia seperti mahasiswa yang bersikap cuek terhadap dirinya di perpustakaan tadi pagi.
Tangan Riska menepuk pundak Raina berulangkali. Gadis yang ditepuk tersentak sadar dari lamunannya.
“Ada apa Ris?” tanya Raina. Ia kemudian melihat ke arah telunjuk tangan Riska.
“Itu pria yang sok tadi yang aku ceritai di kantin.”
Raina mengangguk. Namun tiba-tiba berseru dengan spontan.
“Si Gay.”
Kini giliran Riska yang melongo. “Gay?”
[Bersambung]
Comments
Post a Comment