+++
HARI-hari berlalu dengan cepat. Riska mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya di Aceh. Ia juga mulai sibuk dengan orientasi perkenalan kampus serta seabrek aktivitas mahasiswa baru lainnya. Untuk itu, sang ayah membeli sepeda motor untuk memudahkan aktivitasnya pulang pergi ke kampus atau aktivitas lainnya.
Ia mulai hafal dengan jalur lalu lintas yang ada di Banda Aceh. Namun sesekali ia masih tetap saja nyasar. Padahal Raina sudah berulangkali mengingatkannya tentang rute yang ada di Banda Aceh.
Ia kadang ke sasar ke Krueng Cut atau Alue Naga. Saat itu terjadi, Raina-lah yang datang menjemput.
Namun hari ini, Raina memiliki agenda tersendiri di kampusnya. Aktivitas tersebut baru selesai pukul14.00 WIB nanti. Sedangkan saat ini masih pukul 11.00 WIB.
Riska mencoba bertahan di kampus hingga aktivitas Raina selesai. Ia sudah janji dengan gadis mungil itu.
Mereka janji akan menghabiskan waktu hingga magrib tiba sambil melihat matahari terbenam.
Untuk itu, Riska mencoba menghabiskan waktu di perpustakaan. Ia mencoba membaca sejumlah buku, tapi tak satu lembar pun masuk ke kepalanya. Ia bukan tipe kutu buku.
Yang menarik perhatiannya justru keberadaan seorang pemuda yang duduk satu meja dengan dirinya. Mereka saling berhadapan, tapi sepertinya, pria muda itu terlalu larut dalam bacaannya. Ia tidak pernah sekalipun menoleh ke arahnya.
Pria itu lumayan ganteng. Wajahnya semi Arab. Tubuhnya terlihat kekar meski ditutup kemeja panjang. Rambutnya ikal sebahu. Ia lumayan tinggi untuk ukuran pria Indonesia.
“Sok kecakepan,” gumam Riska dalam hati.
Riska yang terbiasa menjadi pusat perhatian di Ngawi merasa dongkol dengan sikap cuek pria itu. Sepanjang hidupnya, baru kali ini ia dicueki oleh lawan jenis.
Riska teringat dengan perkataan Dela beberapa waktu lalu.
“Cowok Aceh ganteng-ganteng. Kayak Teuku Zaky.”
Apa yang dikatakan oleh Dela ternyata memang benar adanya. Makhluk tuhan di depannya adalah salah satu pembuktian. Tapi kesombongan pria itu membuat Riska ogah untuk menyapa duluan.
“Sorry. Aku punya harga diri. Pantang menyapa duluan,” gumam Riska dalam hati lagi.
Riska berharap pria itu melihat ke arahnya. Ia yakin pria itu akan terpesona dengan dirinya pada pandangan pertama. Ia hanya butuh sekali tatapan.
Riska mulai melihat jam tangan miliknya. Pukul 11.15 WIB. Ia terus mengamati pria itu diam-diam. Sesekali, pandangannya dialihkan ke buku agar tidak terkesan sengaja menanti pria itu menyapanya.
Namun hingga pukul 11.43 WIB, pria itu masih focus membaca. Harapan Riska sia-sia. Ia tambah kesal. Namun harga diri membuat dirinya bertahan.
“Ia pasti selesai membaca. Aku harus bertahan,” gumam Riska lagi.
Jarum jam seakan bergerak sangat lamban. Ia seperti mendengar detak jarum yang bergerak detik demi detik. Namun pemuda itu masih tetap focus pada buku yang dibacanya.
Riska menjatuhkan buku.
“Gebruuk.”
Beberapa mahasiswa yang berada di sekitar menoleh ke arahnya. Bunyinya lumayan keras. Namun sang pemuda tadi masih tak bereaksi. Matanya masih focus ke buku.
Riska kesal. Diambil tas dan kemudian memilih keluar dari perpustakaan.
“Ya tuhan. Sombong banget dia,” gumamnya.
Di luar Perpustakaan, Riska mengamati sekeliling. Matanya kemudian mengarah ke kantin yang tak jauh dari Biro Adminitrasi Unsyiah. Warung itu akan sepi. Ada penjual Mie Aceh di sana.
Ia bergegas ke kantin.
“Mbak. Mie Aceh satu. Yang pedes,” ujarnya setengah berteriak. Si Abang penjual tersentak. Seluruh pengunjung warung juga menatapnya dengan pandangan aneh. Namun ia tidak peduli.
“Yang cepat ya bang. Jangan buat saya menunggu lama,” ujarnya lagi kesal.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment