AKU menekan ulang nomor handphone milik Billy dan menghubunginya. Namun sosok itu tak menjawab panggilanku.
Aku menghubunginya hingga 3 kali. Baru pada panggilan terakhir, hubungan telepon tersambung.
“Hallo, hallo, hallo Billy,” ujarku. Namun di seberang sana tak terdengar jawaban. Aku malah mendengar suara letusan senjata. Ada ledakan besar terdengar dari seberang. Aku terdiam.
“Suara senjata. Mereka sedang dikepung,” gumamku.
“Siapa yang dikepung, Pakwa?” tanya Suadi.
“Tadi ada panggilan tak terjawab dari Billy. Pas aku telpon ulang, justru yang terdengar suara letusan senjata. Sedangkan Billy tak menjawab. Sepertinya ia sedang dikepung,” jawabku.
“Dimana lokasi terakhir Si Billy?” tanya Suadi lagi.
“Terakhir, sebelum aku turun dari Kantor Wilayah Samudera Pase di Alue Dua, aku meminta pasukan untuk mengantarnya ke Sawang. Ke pasukannya Si Inggreh. Sekarang tidak tahu,” kataku.
“Mudah-mudahan mereka selamat,” kataku lagi.
Teungku Muhammad Nur sempat terdiam beberapa saat. Ia dan Saridin kemudian masuk dalam kamar kosong. Si Abang yang juga adiknya Suadi, menyusul beberapa menit kemudian.
Teungku Muhammad Nur merupakan Ketua Suara Rakyat Aceh (SURA). Saat konflik, aktivitas SURA sempat dikendalikan dari Kandang.
Ada beberapa aktivitas elemen sipil yang memprotes argesi militer di Aceh. Dua diantaranya seperti SIRA, SMUR dan SURA. Karena dikejar oleh TNI, kebanyakan diantara mereka berlindung dibalik barisan sipil GAM. Karena sama-sama dikejar TNI.
Sebahagian ada juga yang keluar Aceh untuk mengampanyekan agar argesi militer di Aceh ditarik.
Bau tiner yang menyengat tiba-tiba tercium dari ruang tamu. Mereka ternyata mulai mencetak stiker dan spanduk.
Aku menyusul 30 menit kemudian. Di sana, aku melihat Teungku Muhammad Nur dan Si Abang sedang belepotan cat. Beberapa spanduk dibentangkan. Ada tulisan ‘Cease Fire’ atau genjatan senjata.
Rencananya, spanduk-spanduk ini akan disebarkan ke seluruh Aceh oleh sipil GAM. Tujuannya, agar ada perhatian masyarakat internasional tentang kondisi Aceh saat ini. Mereka berharap internasional turun tangan serta bisa memaksa Republik untuk menggelar jajak pendapat di Aceh. Salah satunya, ya melalui Referendum.
Kegiatan sipil ini mendapat dukungan penuh dari TNA. Dalam struktur GAM, sipil bertugas memainkan isu politik. Sedangkan Tentara Nanggroe melakukan perlawanan senjata. Kegiatan ini dikendalikan sepenuhnya oleh Muzakir Manaf selaku panglima tertinggi di Aceh.
Aku terkadang salut dengan sosok ini. Di tengah gempuran Tentara Republik, ia masih bisa memberikan arahan dan perintah untuk sipil dan Tentara Nanggroe. Semua ini dikendalikannya dari pedalaman Aceh.
“Ingat Musa. Pemimpin yang baik itu tetap bersama pasukan dalam kondisi apapun. Seperti almarhum Teungku Lah (Abdullah Syafii-red),” pesan Muzakir Manaf kepadaku dua bulan sebelum darurat militer ditetapkan.
Hari-hari Mualem memang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor wilayah Samudera Pase, Alue Dua, Nisam. Untuk Aceh, kegiatan sipil GAM lebih banyak dikendalikan oleh Ibrahim KBS, tetapi tetap berkoordinasi dengan Mualem. Tujuannya, agar pergerakan sipil di seluruh Aceh sama.
Handphoneku tiba-tiba bergetar. Lamunanku buyar. Di layar, aku melihat nama Billy muncul. Aku segera menjawab panggilan masuk itu.
“Hello, Pakwa. Kamu baik-baik saja?” ujarnya dengan dialek Amerika kental.
“Baik, Billy. Aku tadi menelponmu. Tadi ada suara letusan senjata. Apakah kau baik-baik saja? Dimana posisimu saat ini?” aku memberondong pertanyaan-pertanyaan untuk Billy.
Aku menelpon sambil jalan. Di ruang tamu, aku duduk di sofa.
“Aku baik-baik saja, Pakwa. Aku masih sama Si Inggreh. Kami beberapa hari ini dikepung. Tadi kontak tembak. Ini baru bisa keluar dari kepungan,” ujar Billy.
Aku menarik nafas panjang. Bule Amerika itu memang sangat dekat denganku selama di kantor Alue Dua.
“Aku ingin berjumpa denganmu, Pakwa,” katanya pelan.
“Kalau ada umur panjang. Nanti kita pasti berjumpa, Isya Allah,” ujarku. Namun sambungan telepon tiba-tiba putus. Aku mencoba menelponnya kembali. Namun nomor handphonenya tidak lagi aktif. Aku berharap ia baik-baik saja.
Saridin muncul dari arah belakang dengan setumpuk spanduk. Ia memanggil beberapa anggota pasukan dan memintanya untuk memasukannya ke dalam goni.
Sang pasukan mengangguk serta menjalankan perintah Saridin. Mereka mengambil beberapa goni bekas. Sebelum spanduk dan stiker dimasukan, mereka terlebih dahulu mengisi dengan rumput muda di sekeliling bagian dalam goni. Tujuannya, untuk mengelabui TNI jika seandai ada razia.
“Nanti malam, ini sudah menyebar ke seluruh Aceh. Di Lhokseumawe, ini akan terpasang segera,” kata Saridin sambil tersenyum ke arahku.
Sekitar pukul 17.00 WIB, dua orang sipil GAM di bawah koordinasi Suadi muncul dengan satu unit sepeda motor. Mereka berboncengan dan berpakaian ala petani. Mereka mengambil dua goni tadi dan berlalu. Selang 30 menit kemudian, mereka kembali dan mengambil dua goni lagi. Aktifitas itu dilakukan berulang hingga tumpukan spanduk dan stiker dalam goni di ruang tamu habis terangkut.
Aktivitas kami berhenti jelang magrib. Seperti malam sebelumnya, Saridin kembali meminta penghubung untuk mengantar kami ke rumah penduduk di desa berbeda dalam kemukiman Kandang. Penghubung yang mengantar kami bernama Dek Jal Pak Tua.
Keadaan seperti ini berulang hingga sepekan. Tepat di hari ke 7 aku berada di Kandang, Bang Yan kembali menelpon. Ia memintaku untuk kembali ke markas Apa Syam di Dewantara.
Selaku Tentara Nanggroe, permintaan Bang Yan adalah perintah bagiku. Ia panglima kami. Di hari terakhir, aku pamit pada Saridin dan beberapa anggota pasukan lainnya. Mereka awalnya terlihat tak rela, namun setelah aku jelaskan maksud dan tujuannya, baru aku diizinkan pergi. Aku meminta penghubung untuk diantar ke markas Apa Syam. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Comments
Post a Comment