Skip to main content

[Cerbung] Sang Kombatan (17)


 SUASANA tegang. Seorang anak kecil di sudut warung terdengar menangis. Aku tak melihat sejak kapan ia berada di sana. Aku mencoba berpikir keras untuk keluar dari masalah.

Saat kepala pasukan Raider itu mendekat. Aku berusaha tersenyum. Ternyata ia malah membentakku.

“Apa kau ketawa? Nantang ya? Tentara Nanggroe kau ya?” ujar dia. Ismail kian pucat.

“Jalok rokok?” tiba-tiba terdengar suara salah seorang Raider lainnya meminta rokok.

Ia berbicara pada teman di sisi kirinya. Sebelum temannya menjawab, aku memotong pembicaraan mereka.

Iki ono rokok Mas. Mau? Jalok wayee. Ora opo-opo,” ujarku sambil menyerahkan rokok Dji Sam Soe.

Sang Raider dan teman tadi terlihat heran melihatku. Demikian juga dengan Kepala Pasukan Raider yang membentak tadi.
Sopo kowe?” ujarnya.

“Saya orang Aceh, Mas. Tapi lama di Jawa,” jawabku.

“Di Jawa, dimananya kamu?” ujarnya lagi seakan tidak percaya.

“Di Yogyakarta, Mas. Kuliah di UGM,” kataku.

“Yogya ne, nendi?” sela Raider yang meminta rokok tadi dari arah belakang. Ia mendekat untuk mengambil rokok dariku.

“Demangan, Mas,” jawabku.

“Oo, Kalau saya di Jetis,” katanya.

Pembicaraan kami kemudian beralih ke soal Yogya. Sang Raider tadi mengaku rindu dengan kampung halamannya. Ia bahkan sempat curhat kepadaku tentang ketakutan keluarganya saat akan ditugaskan ke Aceh.

“Nanti kamu ditembak sama orang GAM,” ujar Raider tadi mengulang perkataan keluarganya.

Belakangan ia memperkenalkan diri dengan nama Sugeng.

Sikap sang kepala pasukan Raider juga berubah. Ia yang tadinya marah-marah, jadi lembut. Ia juga mengambil kursi di samping Ismail dan duduk berhadapan denganku.

“Maaf tadi hanya mengertak. Saya hanya ingin mengetahui, ada tidak Tentara Nanggroe di sini,” katanya. Aku mengangguk.

“Kamu dari mana?” tanyanya.

“Saya baru pulang dari Panton Labu. Sampai di sini istirahat. Soalnya ada pos TNI, saya pikir aman,” jawabku beralasan.

“Ini adik saya,” ujarku lagi sambil menunjuk ke arah Ismail. Sang kepala Raider tadi kemudian tertawa dan memeluk Ismail.

“Sorry boy. Tak takut kau kan?” ujarnya ke Ismail. Sedangkan pemuda itu cuma tersenyum.

“Kalian harus hati-hati. Di sini kawasan petinggi GAM. Namun sekarang sudah aman karena ada pos TNI,” ujarnya.

Mendengar hal ini aku cuma mengangguk. “Kan sekarang ada Bapak lagi. Tentu lebih aman,” kataku memuji.

“Ya. Tadi aku cuma sedikit kesal. Soalnya kami dilempari granat sama GAM tadi,” katanya lagi.

“Di daerah mana Mas?” tanyaku pura-pura.

“Kalau tak salah, Panggoi. Ya Panggoi,” jawabnya.

Sekitar 30 menit kami berbincang-bincang, pemimpin Raider tadi minta izin melanjutkan perjalanan.

“Kami ingin ke Lhokseumawe. Kamu berhati-hatilah ya,” ujarnya lagi.

Ia kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa uang kertas serta diserahkannya ke pemilik warung.

“Semua saya traktir ya. Bisa minum sepuasnya,” ujarnya.

“Lon jak balek dilee,” katanya lagi berbahasa Aceh.

“Kalau ada apa-apa. Kamu bilang saudaranya Sugeng dari markas Cot Girek, Lhoksukon,” kata Raider Sugeng yang berdiri di belakang.

Kami yang mendengarnya tertawa. Suasana di warung berubah. Dua anggota TNI yang ngopi berdiri memberi hormat.

“Sekarang Kandang sudah aman dari GAM. Sejak kami berada di sini. Tak ada Tentara Nanggroe lagi,” ujar salah seorang di antaranya.

Di pinggir jalan, kepala Raider tadi kemudian memanggil seluruh anggota pasukan untuk kembali ke mobil Reo. Mereka bereaksi cepat. Hanya hitungan detik melompat ke atas truk. Sedangkan sang kepala memilih duduk di depan. Ia sempat melambai tangan ke arahku. Mereka pun kemudian menghilang di tikungan jalan.

Aku memberi isyarat kepada Ismail untuk segera mengambil sepeda motor dan meninggalkan lokasi itu. Ia sepertinya paham. Kami kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Ismail tak berani bertanya kepadaku.

Setiba di markas, aku turun dan bergegas ke ruang tamu. Ismail menyusulku dari arah belakang.

Saridin memandangku dengan wajah keheran-heranan. Demikian juga dengan Teungku Muhammad Nur, Suadi dan Si Abang.

“Kenapa kalian? Apa yang terjadi?” ujar Saridin. Namun aku tak bisa menjawab. Kakiku terasa lemas. Aku berbaring. Darah seakan tak mengalir hingga kaki.

“Tadi ada belasan Raider mengepung kami saat ngopi di warung,” ujar Ismail sambil berbaring di sisi kananku. Saridin terkejut.

“Lantas apa yang terjadi,” kata Teungku Muhammad Nur tiba-tiba.

Wajahnya terlihat panik serta penasaran. Suadi dan Si Abang kompak mengangguk. Mereka mendekati kami.

“Untung aku bisa bahasa Jawa. Mereka akhirnya malah mentraktir kami se-warung. Lumayan bisa hemat. Namun dadaku berdetak cepat karena panik serta takut. Kakiku lemas,” ujarku.

Karap meuramah,” kataku lagi. Tawa Saridin pecah. Sedangkan Teungku Muhammad Nur tersenyum.

Aku kemudian meletakan dompet dan handphone di dekat kepala. Tujuannya agar bisa istirahat dengan tenang. Namun mataku justru tertuju pada layar handphone. Di sana ada 12 panggilan masuk yang tak terjawab. 4 diantaranya berasal dari nomor handphone milik Billy. Aku memang mematikan nada dering saat di warung kopi tadi.

“Ada apa ya?” gumamku. [Bersambung]

Cerita Bersambung ini karya Musa AM

Comments

Popular posts from this blog

Mudifah atau kunjungannya anak pondok

Hari kunjungan atau yang mereka sebutkan mudifah merupakan hari yang menyenangkan bagi anak pondok pesantren, karena hari itu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Yups, hari yang begitu special seperti lebarannya anak pondok.pada hari kunjungan mereka bisa bertemu dengan sanak family dan semua keluarga besarnya, bayangkan mulai pagi hari mereka udah mulai antri hp dipengasuhan dengan batas waktu yang ditentukan mereka lengkap memesan semua pesanan sama keluarganya, yang paling utama adalah makanan, mulai dari nasi sampai dengan makanan penutup. Yang penulis herankan, terkadang dari segoni pesanannya cuma satu  yang dimakan,padahal semua makanan yang pesan sama aja dengan makanan sehari-hari di pondok juga, ah mungkin itu bawaan dari orangtua jadi berasal paling maknyuus gitu. Mudifah kata yang tak asing bagi penghuni pondok, yang kata mereka pondok adalah penjara suci,,,banyak istilah bagi mereka anak pondok, ada yang namanya penjara suci ?? tidak  lain adalah pesantren. Jadi...

REAKSI EKSOTERM DAN REAKSI ENDOTERM

  Soal Diskusi Soal 1. Ciri-ciri reaksi eksoterm adalah A. Sistem menyerap kalor dari lingkungan B. Lingkungan menyerap kalor dari sistem C. Sistem dan lingkungan memiliki kalor sama D. Kalor sistem dan lingkungan jika dijumlahkan sama dengan nol E. Pada akhir reaksi, kalor lingkungan selalu lebih kecil dari kalor sistem Soal 2 . Jika reaksi antara logam barium dengan asam klorida encer di campurkan ke dalam tabung reaksi yang  tersumbat dengan rapat, gas hidrogen di dalam sistem tidak dapat meninggalkan sistem tetap terjadi perubahan energi melalui dinding pada tabung reaksi. pada percobaan ini termasuk ke dalam ... A. Sistem tertutup B. Perubahan entalpi C. Sistem terbuka D. Perubahan energi dalam  Evaluasi E. Sistem terisolasi Soal 3. Pernyataan di bawah ini yang termasuk ke dalam reaksi Endoterm adalah .... A. Besi berkarat B. Air mengalir C. Ledakan bom D. Pembuatan es batu dan air E. Pembakaran kayu Soal 4. Proses reaksi di alam yang berlangsung spontan seperti pert...

JUJUR MENUJU KEMENANGAN

Puji dan syukur marilah sama-sama kita ucapkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan NikmatNya kepda kita semua. Allah yang telah menghiasi manusia dengan kejujuran menghiasi malam dengan bulan purnama. Shalawat dan salam marilah sama-sama kita sanjungkan kepada seorang pemuda arab,imam diwaktu sholat ,pemimpin diwaktu perang, buah hati siti aminah dan jantung hati siti khadijah. Tidak lain dan tidak bukan yakni nabi besar Muhammad SAW. Yang telah menuntut umat manusia dari alam yang salam kea lam yang benar, dari alam yang penuh kebohongan ke alam yang penuh kejujuran. Bapak dewan hakim, bapak dan ibu pendamping, teman –teman peserta lomba, dan hadirin yang saya hormati. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan pidato dengan judul: “JUJUR MENUJU KEMENANGAN ” Tema kejujuran tengah menjadi buah bibir banyak orang. Dikoran, televise, warung kopi, ruang belajar bahkan dipasar. Kejujuran hadir dengan gaung yang membahana. Kita seakan baru mengenal k...