AYAH Halim memerintahkan dua speed boat milik Tentara Nanggroe untuk menjemput pasukan di perahu yang hampir karam.
Tembakan balasan dari Tentara Nanggroe membuat TNI enggan mendekat. Mereka hanya terus menembak dari jarak jauh. Saling serang terjadi hingga belasan menit.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh Tentara Nanggroe untuk menyelamatkan sejumlah pasukan yang menceburkan diri ke laut. Beberapa di antaranya, ada yang berenang hingga ke daratan.
“Kenapa boat tadi berhenti. Apa yang terjadi,” tanya Jamal pada Suadi. Sosok yang ditanya bernafas putus-putus.
“Ball..ling, baling-baling boat patah,” ujar Suadi dengan nafas ngos-ngosan. Ia terbaring lunglai di atas pasir. Beberapa anggota kemudian memapahnya ke tempat yang lebih aman.
Jamal kemudian lari ke pantai. Ia mencoba menembak speed boat TNI. Sayang, pelurunya tak mengenai sasaran. Dari atas speed boat, TNI malah menembaki perahu yang ditumpangi Tentara Nanggroe tadi. Perahu itu akhirnya tenggelam.
TNI tak berani mendekat ke daratan. Ini karena jumlah kami jauh lebih banyak.
Saat speed boat TNI berlalu dan kembali ke kapal perang. Kami menghitung pasukan. Jumlahnya masih lengkap dan tidak ada yang tewas. Hanya ada beberapa orang yang terkena serpihan peluru.
“Belasan senjata kita jatuh saat kejadian, panglima,” lapor Jamal kepada Ayah Halim.
“Sebaiknya speed boat kita juga dikaramkan saja. Cepat dan lamban, speed boat itu akan dicari TNI,” kataku. Ayah Halim mengiyakan. Pasukan Jamal kemudian menembak speed boat kami hingga karam.
Kami mundur teratur.
“Kita harus menerobos kepungan. Hidup atau mati. Jalur laut telah gagal,” kataku.
“Ya, tak ada alternatif lain. Kalau mati, ini mungkin sudah takdir,” ujar Jamal.
Beberapa Tentara Nanggroe terlihat saling pandang. Wajah mereka terlihat cemas. Saat itu senja mulai muncul. Suara lantunan ayat Alquran terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Aku mengambil HT milik pasukan. Kuatur frekuensi yang sama seperti saat berdialog dengan TNI beberapa hari lalu di markas Kompi D1 Pase.
“Halo, halo. Kami pasukan Nanggroe. Kami menempuh jalur darat dari Jambo Aye. Ada ratusan anggota. Kalau kalian berani hadanglah,” ujarku nekat.
Hal ini aku ulang beberapa kali. Namun tak ada balasan dari seberang. Wajah Jamal terlihat bias. Namun sepertinya tak berniat melawanku.
Pasukan kemudian bergerak lamban menelusuri ladang warga. Kami hanya berhenti saat salat Magrib dan Isya tiba.
Di sepanjang jalan, kami beberapa kali menemukan ransel serta makanan bekas milik TNI. Ini menandakan bahwa memang tempat tersebut, sebelumnya menjadi lokasi intai TNI.
“Apa mereka mundur karena tahu kita datang,” tanya Jamal tiba-tiba.
“Bisa jadi. Tapi bisa juga mereka bergabung dalam pasukan besar untuk menghadang kita di depan,” ujarku.
“Kalau mereka menghadang, kita lawan sekuat tenaga. Kalau kita mati, berarti syahid,” kata Ayah Halim.
Suasana terasa sepi dan dingin.
Kami terus bergerak lamban. Ayah Halim, Jamal dan aku memimpin pasukan di depan. Sementara Jamaika dan beberapa anggota yang terkena serpihan peluru berada di tengah.
Di belakang, pasukan yang bersenjata AK serta Minimi mundur teratur. Mereka siaga jika seandainya ada TNI yang menyerang dari belakang.
Jamaika termasuk salah seorang yang harus kami lindungi. Ini karena perannya yang kami anggap penting. Ia bertugas melaporkan keadaan Nanggroe kepada wartawan.
“Seandainya terjadi perang dan posisi kalian dikepung. Jamaika orang pertama yang harus kalian selamatkan. Ini karena keberadaannya penting. Ia harus tetap hidup agar wartawan tahu perjuangan kita,” begitu pesan Sofyan Dawood kepada kami di kantor secretariat wilayah Samudera Pase beberapa bulan sebelum darurat militer diterapkan.
Sekitar pukul 03.00 WIB, Sabtu dini hari. Kami akhirnya tiba di Desa Buah, Kecamatan Matang Sijuek, Panton Labu, Aceh Utara.
Cahaya lampu dari rumah warga, banyak yang padam. Suasana terlihat sepi. Rombongan kami mengarah ke halaman depan sebuah rumah panggung khas Aceh.
“Assalamualaikum,” kataku berulang kali sambil mengetok pintu. Namun tak ada jawaban.
“Assalamualaikum,” ujarku lagi berharap penghuninya segera bangun dan bersedia membantu kami dengan makanan ala kadar. Perjalanan yang jauh membuat kami kelelahan dan haus. Apalagi dari Jumat sore kami tak mendapatkan makan sedikit pun.
Saat aku hampir frustasi, terdengar suara di balik pintu. Sepertinya penghuninya telah bangun. Aku tersenyum kepada pasukan.
Wanita kurus dengan jilbab putih muncul. Ia seperti keheranan melihat kami. Air matanya tumpah dan tubuhnya lunglai. Ia tiba-tiba jatuh menghantam tanah. [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Comments
Post a Comment