Ayah Saridin masuk tiba-tiba. Wajahnya terlihat serius. Ia Komandan Operasi Wilayah Pase.
“Saya diperintahkan untuk mengawal pengosongan kantor wilayah,” ujarnya. Senjata FN bersarung terlihat di pinggang.
“Ya, Ayah. Aduen juga sudah memberi perintah yang sama. Dokumen sisa sedang kami bakar di sana,” jawabku sambil menunjuk ke luar ruangan.
Aduen merupakan sebutan untuk Sofyan Dawood, Panglima GAM Pase.
Empat Tentara Nanggroe berdiri di dekat api. Mereka bertugas untuk memastikan semua dokumen itu terbakar habis.
“Mau kopi Ayah?” tanyaku. “Biar sekalian dibuat Udin.”
“Boleh. Kopi hitam saja. Ini malam yang panjang,” ujarnya lagi.
Aku memberi isyarat ke Udin yang memang sedang membuat kopi Ginseng untuk kami berdua. Ia sepertinya mendengar pembicaraanku dengan Ayah Saridin.
Udin membalas isyarat dengan mengangkat jempol kanan.
“5 anggota kutugaskan untuk mengawal kalian di sini. Untuk memastikan semua dokumen terbakar,” ujar Ayah Saridin.
Ia menarik kursi dan duduk dekat meja rapat. Pistol FN diletakan atas meja. Sedangkan aku memilih duduk berhadapan dengannya. Billy bergabung selang beberapa menit.
Ia memilih duduk di sisi kiriku. Tak lama kemudian Jamaika kembali bergabung. Ia membawaserta tas ransel. Tangan kanannya memegang laptop.
“Duduk Komputer,” ujar Ayah Saridin. Komputer adalah sandi lain dari Jamaika. Ia bertugas memberi kabar tentang kondisi dalam Nanggroe kepada wartawan.
“Saya sudah perintahkan Tentara Nanggroe untuk mengawal Billy ke lokasi yang lebih aman, Ayah. Seluruh Tentara Nanggroe yang bertugas mengawal Kantor Wilayah Samudera Pase juga akan bergabung dengan Pasukan Daerah, besok. Tentu saja selain yang mengawal Billy,” kataku.
Ayah Saridin mengangguk. Udin datang membawa 4 gelas kopi. Satu kopi ginseng dan tiga lainnya kopi hitam. “Uree Kareng,” kata Billy usai menerima kopi.
“Bukan, tapi Ulee Kareng,” timpal Jamaika membetulkan ucapan Billy.
“Anakku mengajak ke Hari Pekan di Keude Alue Papeun Senin siang. Tapi kayaknya harus ditunda,” ujar Ayah. Aku tersenyum.
Alue Papeun sendiri hanya berjarak 2 kilometer dari Alue Dua, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, daerah yang menjadi Sekretariat Kantor Wilayah Samudra Pase. Kantor inilah yang kami tempati saat ini.
Keude Alue Papeun juga berdekatan dengan rumah Ayah Saridin. “Jadi wajar kalau anak Ayah Saridin tahu Hari Pekan,” pikirku sambil tersenyum geli.
“Okelah. Saya minta izin. Ada 5 anggota yang saya tugaskan untuk mengawal kalian di sini. Ini sebagai pasukan tambahan. Mereka bergabung dengan 15 Tentara Nanggroe lainnya yang memang sedang piket di sini,” kata Ayah.
“Pasukan Daerah juga berjaga-jaga di pos masing-masing. Kalau TNI masuk pasti ketahuan. Saya minta izin,” ujarnya lagi sambil menghabiskan sisa kopi. Aku hanya mengangguk. Demikian juga dengan Billy dan Jamaika.
Ayah Saridin bergegas menuju pintu. Kami mengekornya dari belakang. Di depan, dua pengawal Ayah Saridin memberi hormat kepada kami. Dalam hitungan menit, alumni Tripoli itupun menghilang dalam pelukan malam.
Jamaika dan Billy kembali ke ruang tamu. Sedangkan aku memilih berdiri di dekat api, bergabung dengan Tentara Nanggroe yang masih membakar dokumen sisa. Sedangkan dokumen penting lainnya sudah disimpan di Kota Lhokseumawe.
Ya, tempat paling aman. “Tempat paling aman adalah tempat yang paling dekat dengan markas TNI,” pikirku.
“Pakwa. Teleponmu berdering terus dari tadi,” ujar Udin dari arah pintu.
“Dari siapa,” tanyaku.
“Rani,” jawab Udin.
“Ya tuhan. Gadis itu belum menyerah. Hampir belasan kali ia telepon hari ini. Tak sekalipun aku mengangkatnya,” ucapku dalam hati.
“Kalian kembali ke lokasi masing-masing. Tetap siaga. Kalau tidur bergantian. Siapa tahu TNI berhasil masuk ke lokasi ini,” ujarku pada Tentara Nanggroe.
Mereka mengangguk.
“Jam 5 dini hari nanti kita kembali sini. Apel terakhir sebelum masing-masing bergabung dengan Pasukan Daerah,” kataku lagi.
“Siap dan merdeka,” ujar mereka serentak. [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Comments
Post a Comment