Skip to main content

Sang Kombatan (10)

 USAI salat Dhuhur, salah seorang pasukan memanggilku. Raut wajahnya agak asing. “Mungkin bukan pasukan dari Pase,” pikirku. Ia memintaku untuk menghadap Sofyan Dawood. Di kalangan Tentara Nanggroe, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Bang Yan.

“Sebentar ya, saya pakai baju dulu,” jawabku. Aku segera meraih baju yang tergantung di dekat pintu. Sejak tiba tadi, kerjaanku memang hanya rebahan tanpa baju di ruang tamu.

“Iyo mas,” ujarnya. Aku mengerut kening. Pria itu sepertinya mengerti keherananku.

“Saya memang Wong Jawa. Tapi juga Tentara Nanggroe,” ujarnya lagi. Aku tersenyum mendengar hal ini. Aku bergegas turun. Kami kemudian mengarah ke sisi sungai. Di sana, Sofyan Dawood menungguku sambil tersenyum.

Sofyan Dawood bersandar pada batang kayu yang sudah mati.
“Aku memanggilmu kemari karena ingin diskusi. Sebagaimana yang kamu ketahui, kita sedang darurat militer. Di beberapa tempat, pasukan kita terdesak. Cepat dan lamban, daerah ini juga bakal dikuasai musuh. Aku ingin mengatur ulang strategi perang,” ujarnya.

“Bukankah Bang Yan selama ini mampu? Apa Bang Yan hanya basa-basi?” tanyaku lagi.

“Bukan basa-basi. Mungkin ada ide dari kamu untuk meminimalisir korban dari pihak kita. Seperti kataku tadi, cepat atau lamban, pasukan kita pasti terdesak. Saat ini, TNI ingin memisah kita dari masyarakat,” ujarnya.

“Nanti malam kita duduk bersama. Ada Said Adnan, Ayah Halim serta beberapa petinggi dari Peureulak. Aku sudah melapor pertemuan kita sama Mualem dan beliau akan ikut apa yang kita putuskan,” ujarnya lagi.

Sofyan Dawood kemudian berdiri di dekatku. Ia memegang batu kecil dan melemparnya ke arah sungai. “Aku mengajakmu karena aku anggap mampu. Sampai jumpa nanti malam. Aku akan cek pasukan dulu di markas sebelah. Assalamulaikum,” ujarnya usai memegang pundakku.

Saat malam tiba, Ayah Halim, Bang Yan, Said Adnan serta beberapa petinggi dari Peureulak sudah berkumpul di ruang rapat. Ruang tersebut berada di sebelah kamar tamu rumah panggung tadi. Kepungan asap rokok terlihat dari pintu masuk.
Ada beberapa gelas kopi hitam di atas meja serta satu kopi ginseng. Kami duduk melingkar. Aku duduk di sisi kanan Sofyan Dawood.

“Saat ini pasukan kita memang masih bisa bertahan. Namun aku dapat informasi ada ribuan Raider yang baru tiba melalui Krueng Geukueh dan pelabuhan Malahayati Aceh Besar. Sebahagian besar akan dikirim ke Pase dan Aceh Timur,” ujarnya.

“Apa yang harus kita lakukan panglima?” tanya Ayah Halim.
“Apa tanggapanmu Musa?” ujar Bang Yan tiba-tiba. Saat itu aku tak menyahut karena memang nama itu tak lagi akrab denganku.
“Pakwa, bagaimana tanggapanmu?” kata Bang Yan sambil memegang lenganku dengan nada agak keras. Aku terkejut. Ayah Halim dan beberapa peserta rapat lainnya tertawa.

“Apa? Saya ikut keputusan panglima,” ujarku kaku.
“Dia sepertinya sudah lupa dengan nama sendiri. Dia lebih peka jika dipanggil Pakwa,” ujar Ayah Halim. Bang Yan tertawa.

“Mungkin ke depan kita harus sering pindah tempat. Bergerilya. Jika malam sebaiknya dalam perkampungan atau dekat sarang TNI. Tempat bermalam yang paling bagus adalah sarang musuh karena mereka tak akan curiga kalau kita di sana,” ujarku.

“Aku setuju. Ini telah diterapkan oleh pejuang Aceh terdahulu. Tempat ini suatu saat juga akan dikepung. Aku minta kalian menyebar ke seluruh pasukan. Pasukan akan semangat jika para panglima ada bersamanya. Saat-saat seperti ini, mental pasukan perlu dikuatkan,” katanya lagi. Kami semua mengangguk.

Rapat kemudian ditutup. Kami keluar ruangan. Bang Yan, keluar dengan diapit oleh 8 pengawalnya. Ia menghilang dipeluk malam. Aku tak berani bertanya kemana arah Bang Yan. Namun prediksiku, ia kembali ke markas sebelah yang tak jauh dari lokasi kami tinggal.

Aku kembali mengingat kejadian dalam rapat tadi. Dimana, aku malah tak sadar saat dipanggil nama asliku. Ya, Pakwa adalah nama sandi pasukan Nanggroe untukku. Namun sandi ini telah begitu melekat dan lebih banyak disebutkan dibanding nama asli.
“Musa,” gumamku sambil tersenyum. Hanya sedikit orang yang mengetahui nama itu. Hanya Mualem, Bang Yan atau anggota pasukan yang berasal dari wilayah Teungku Di Paloh yang mengetahuinya. Namun mereka tetap saja memanggilku dengan sebutan ‘Pakwa’ jika bertemu.

Makanya panggilan ‘Pakwa’ lebih melekat. Meskipun aku sendiri masih sangat muda dan tak pantas menyandang sebutan itu.
Dalam keluarga, sebutan Pakwa biasanya disematkan untuk saudara lelaki yang lebih tua dari pihak ayah atau ibu.

Sedangkan Musa, hanya sedikit orang yang memanggilku beberapa tahun terakhir. Ya, minimal sejak aku bergabung dengan Tentara Nanggroe. Kecuali ya..Rani, sosok wanita Jawa cerdas yang masih mengirimku pesan singkat setiap harinya.

“Ya, Rani. Entah sedang apa kau di sana saat ini.” [Bersambung]

Cerita bersambung ini karya Musa AM.

Comments

Popular posts from this blog

Mudifah atau kunjungannya anak pondok

Hari kunjungan atau yang mereka sebutkan mudifah merupakan hari yang menyenangkan bagi anak pondok pesantren, karena hari itu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Yups, hari yang begitu special seperti lebarannya anak pondok.pada hari kunjungan mereka bisa bertemu dengan sanak family dan semua keluarga besarnya, bayangkan mulai pagi hari mereka udah mulai antri hp dipengasuhan dengan batas waktu yang ditentukan mereka lengkap memesan semua pesanan sama keluarganya, yang paling utama adalah makanan, mulai dari nasi sampai dengan makanan penutup. Yang penulis herankan, terkadang dari segoni pesanannya cuma satu  yang dimakan,padahal semua makanan yang pesan sama aja dengan makanan sehari-hari di pondok juga, ah mungkin itu bawaan dari orangtua jadi berasal paling maknyuus gitu. Mudifah kata yang tak asing bagi penghuni pondok, yang kata mereka pondok adalah penjara suci,,,banyak istilah bagi mereka anak pondok, ada yang namanya penjara suci ?? tidak  lain adalah pesantren. Jadi...

JUJUR MENUJU KEMENANGAN

Puji dan syukur marilah sama-sama kita ucapkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan NikmatNya kepda kita semua. Allah yang telah menghiasi manusia dengan kejujuran menghiasi malam dengan bulan purnama. Shalawat dan salam marilah sama-sama kita sanjungkan kepada seorang pemuda arab,imam diwaktu sholat ,pemimpin diwaktu perang, buah hati siti aminah dan jantung hati siti khadijah. Tidak lain dan tidak bukan yakni nabi besar Muhammad SAW. Yang telah menuntut umat manusia dari alam yang salam kea lam yang benar, dari alam yang penuh kebohongan ke alam yang penuh kejujuran. Bapak dewan hakim, bapak dan ibu pendamping, teman –teman peserta lomba, dan hadirin yang saya hormati. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan pidato dengan judul: “JUJUR MENUJU KEMENANGAN ” Tema kejujuran tengah menjadi buah bibir banyak orang. Dikoran, televise, warung kopi, ruang belajar bahkan dipasar. Kejujuran hadir dengan gaung yang membahana. Kita seakan baru mengenal k...

makalah SO3 ( sulfur trioksida)

BAB I PENDAHULUAN A.   latar belakang Sulfur trioksida murni merupakan padatan putih dengan titik leleh dan titik didih yang rendah. Sulfur trioksida bereaksi cepat dengan uap air di udara membentuk asam sulfat. Ini berarti bahwa jika kita membuatnya di laboratorium, maka akan tampak sebagai padatan dengan asap di udara (membentuk kabut asam sulfat).Terdapat bentuk polimer lainnya di mana molekul SO3 bergabung membentuk rantai panjang. Sulfur trioksida pada suhu kamar dan tekanan atmosfer adalah cairan tak bewarna yang berasap di udara. Melacak jumlah air asam sulfat dapat mengkatalis pembentukan polimer. Sulfur trioksida bereaksi hebat dengan air menghasilkan kabut dari embun asam sulfat pekat. Sulfur trioksida sendiri akan bereaksi secara langsung dengan basa membentuk sulfat. Sebagai contoh, reaksi dengan kalsium oksida membentuk kalsium sulfat. Ini seperti reaksi dengan sulfur dioksida yang telah dijelaskan di atas. Sulfur trioksida dalam keadaan gas, t...