MOBIL yang ditumpangi Riska melaju dengan kecepatan sedang. Raina ternyata sopir yang mahir. Dari dalam mobil, Riska mengamati hamparan sawah yang menguning sejauh mata memadang serta deretan pohon yang tumbuh subur.
Raina kemudian menghentikan laju kendaraan di depan kuburan massal Siron.
“Apa ini Rai?” tanya Riska.
“Ini kuburan massal korban tsunami Ris. Mungkin kamu mau lihat-lihat kayak bule yang datang ke Aceh. Aku pemandumu hari ini,” kata Raina tersenyum.
Riska mengangguk. Dia senang mendapat teman baru yang baik seperti Raina.
Riska keliling komplek kuburan massal Siron. Ada nuansa berbeda yang ia rasakan begitu memasuki komplek ini. Seseolah ada banyak orang yang sedang beraktivitas di sana. Namun tak kasat mata.
Riska berdoa dan kemudian kembali ke mobil.
“Tidak foto-foto Ris?” tanya Raina.
Riska tersenyum. Ia kemudian menggeleng.
“Pengen tapi takut aku. Takut yang di dalam kubur marah,” ujar Riska. Mendengar hal ini, Raina tertawa lepas. Ia tahu jika Riska adalah gadis yang polos.
Perjalanan berlanjut. Kedua dara ini singgah di warung makan Aceh serta menghabiskan beberapa porsi makanan khas Aceh di sana. Riska ternyata juga menyukai makanan Aceh. Gadis itu menyukai rasa pedas.
“Aku sudah terlalu manis, Rai. Jadi gak boleh makan yang terlalu manis lagi,” ujar Riska setengah bercanda saat ditanya mengapa ia memilih makanan yang pedas. Padahal, kebanyakan orang Jawa justru menyukai rasa manis.
“Mungkin aku memang setengah Jawa Rai. Mamakku lahir di Aceh. Jadi warisan gen Aceh-ku tetap ada,” kata Riska lagi.
Mendengar perkataan Riska membuat Raina melongo.
“Beneran Ris?” tanya Raina. Riska mengangguk berulangkali.
“Iya almarhum mamakku orang Aceh. Kakekku atau ayah mamak juga orang Aceh. Cuma kakek-ku nikah sama Nenek yang asli Ngawi. Saat kakek-ku meninggal dalam tugas, nenek sama mamak pulang ke Ngawi,” itu cerita Si Mbok ku.
Raina mengangguk. Ia terkesima dengan penjelasan dari Riska.
“Pantesan lidahmu tebal ya Ris. Ternyata ada gen Aceh-nya,” ujar Raina tertawa kecil.
“Bisa bahasa Aceh Ris?” tanya Raina lagi.
Riska menggeleng. “Gak bisa Rai. Padahal aku pengen kali belajar bahasa Aceh. Nanti aku belajar sama kamu ya,” ujar Riska. Raina mengangguk.
Usai makan dan bayar, Raina mengarahkan mobil ke Masjid Baiturrahman Kota Banda Aceh. Lokasinya hanya beberapa kilometer dari rumah makan tadi. Waktu tempuhnya sekitar 30 menit. Ini karena mereka harus melewati beberapa ruas jalan rawan macet di beberapa titik.
Saat tiba, Riska terpukau dengan keindahan Baiturrahman dari kejauhan. Masjid itu ternyata jauh lebih indah dari gambar yang pernah ia lihat.
“Ini Ris, masjid kebanggaan kami. Yuk solat dulu. Nanti kita foto-foto,” ajak Raina.
Riska mengangguk mantap. Mereka wudhu bersama dan kemudian menuju tempat salat. Ada rasa nyaman yang luar biasa yang ia rasakan begitu memasuki komplek Masjid Baiturrahman. Ia seolah-olah sangat dekat dengan sang pencipta.
Riska salat dengan khusyuk. Ini kali pertama dalam hidupnya, ia merasa begitu dekat dengan sang pencipta.
Usai salat, Riska mengamati sekeliling. Ia melihat seorang gadis kecil yang memakai mukena cantik dan lucu. Ia duduk dipangkuan ibu-nya yang sedang membaca Alquran lengkap dengan mukena pula.
Melihat pemandangan tadi, air mata Riska tiba-tiba menetes. Ia tiba-tiba sangat rindu dengan sosok ibunya yang telah tiada.
“Buk. Aku ada di Aceh, buk. Aku telah melihat kebaikan Aceh seperti harapanmu, buk.”
“Aku rindu ibu,” gumam Riska dalam hati.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment