Penulis Musa AM
BAGI Riska kuliah di Aceh adalah pilihan paling sulit. Ia belum rela pisah dengan Si Mbok. Ia juga belum rela pisah dengan Dela dan Sri.
Dari kecil, ia tidak pernah pergi jauh dari Ngawi. Ia sekolah dasar hingga menengah atas, yang cuma berjarak tiga kilo dari rumahnya. Namun di sisi lain, ia juga sudah terlanjur janji dengan ayahnya untuk menyusul ke Aceh begitu ia lulus SMA. Ayahnya kini menagih janji itu. Ia juga sudah didaftar di salah satu universitas di Aceh.
Riska sendiri, banyak menerima informasi tak sedap soal Aceh belakangan ini.
“Ganja, GAM dan tsunami,” kata Supriadi, tetangganya saat ditanya soal Aceh.
“Orang GAM tak suka orang Jawa. Orang Jawa diusir dari Aceh. Banyak yang dibunuh,” kata Paijo, teman sekolahnya.
“Di sana sering terjadi gempa dan rawan Tsunami. Jika pindah ke sana, kamu bisa jadi korban tsunami,” ulas Tante Uti, adik ayahnya, saat ditanya pertanyaan yang sama soal Aceh.
Dari semua jawaban yang ia terima terkait Aceh, hanya penjelasan Dela yang sedikit membuatnya senang hati. “Pemuda Aceh ganteng-ganteng.”
Ayah Riska sendiri, sedikit tertutup tentang daerah yang menjadi tempat kerjanya kini. Ia dipindahkan ke Aceh sejak dua tahun lalu. Ia hanya mengatakan bahwa Aceh tak seseram seperti yang diberitakan oleh media-media.
Kalimat ‘tak seseram’ mengandung arti yang dalam. “Berarti masih seram ya Yah?” tanya Riska saat dirinya berkomunikasi dengan ayahnya, dua hari lalu. Pertanyaan Riska dijawab ayahnya dengan tertawa terbahak-bahak.
Tak ada ulasan menarik soal Aceh. Minimal, ini yang dia dapatkan saat berselancar di dunia maya. Semakin ia mencari infomasi tentang Aceh di social media dan media online, justru membuat ia semakin takut. Ia hanya menemukan berita soal demo, pembunuhan serta kekerasan, ketika menulis kata Aceh di Google.
Riska terdiam. Ia menarik nafas panjang yang kesekian kalinya.
“Del. Emang benar ya kalau pemuda Aceh itu ganteng-ganteng?” ujarnya kemudian. Dela yang sedang sibuk dengan sisa es teh manis, tersenyum dan mengangguk.
“Iya. Kayak Teuku Zaky yang actor itu. Paras Indo-Arab,” ujar Dela.
“Minimal sejelek-jeleknya pemuda Aceh, gak kayak Paijo yang naksir kamu itu,” kata Dela lagi sambil tertawa.
Mendengar kata Paijo, membuat Riska kembali cemberut. Anak juragan bakso itu memang menaruh hati padanya sejak kelas 1 SMA. Namun ditolak mentah-mentah oleh Riska. Tapi sikap ketus Riska tak membuat Paijo patah semangat dalam mengejar cintanya.
Terakhir, Paijo malah memanasinya soal informasi tak benar terkait Aceh. Tujuannya agar Riska tak pergi ke Aceh.
“Kalau membandingkan, jangan kayak Paijo dong. Sama yang lain,” ujar Riska kesal. Sri dan Dela tertawa kecil melihat kekesalan Riska.
“Nanti kalau ke Aceh dan kuliah di sana, kamu juga meski pakai jilbab ya Ris?” tanya Sri tiba-tiba.
“Kan di sana ada Syariat Islam. Kalau berduaan dengan lelaki bisa ditangkap dan dicambuk,” ujar Sri lagi. Dela mengangguk tanda setuju.
“Boncengan dengan lawan jenis juga ditangkap lho. Berat kali hidup orang Aceh ya,” tambah Dela.
Riska memegang kepala. Ia pening dengan celotehan kedua sahabatnya itu. Sejak tadi, keduanya terus menambah ketakutannya soal Aceh. Mereka seakan tak rela jika ia pergi ke Aceh.
“Nanti kalau boncengan sama cowok Aceh, pilih pilih dulu Ris! Cari yang ganteng. Minimal kalau ditangkap dan kemudian dinikahkan, tak rugi dan malu-malui,” ujar Dela polos.
“Ya cari yang kayak Teuku Zaky. Terus telepon polisi syariat di sana untuk ditangkap,” kata Sri setengah mengoda. Ketiganya kemudian tertawa bareng.
Hari mulai sore. Garis garis di langit mulai menunjukan bahwa gelap akan segera datang. Tapi warung Mang Rojak masih terus ramai didatangi pelanggan. Namun ketiga dara ini seolah tak peduli dengan suasana di sekeliling. Mereka terus bercerita dan kemudian tertawa bersama-sama.
Mungkin ini adalah kesempatan terakhir bagi mereka untuk tertawa lepas seperti sekarang. Beberapa Minggu dari sekarang, ujian akhir sekolah menanti. Mereka harus focus belajar agar bisa lulus.
Kemudian Riska akan terbang ke Aceh untuk tinggal bersama orangtuanya di sana. Ia hanya akan pulang ke Ngawi setahun sekali atau bahkan tidak pulang sama sekali. Maka momen seperti sekarang akan sukar di ulang di masa depan.
[Bersambung]
Comments
Post a Comment