MALAM kian larut. Ibnu baru saja selesai bersih-bersih. Rak burger miliknya kini terlihat kinclong. Diki tak lagi terlihat di meja pesanan tadi. Mungkin ia sudah pulang. Ia biasa membayar burger di kasir.
Sementara Wahyu, salah seorang pelayan di Warkop pinggir kali, terlihat sibuk dengan telepon di sudut warung. Ia sedang menelpon pujaan hatinya yang ia kenal melalui akun Facebook. Padahal ia dan wanita pujaan yang diteleponnya tiap dini hari tadi, belum pernah ketemu langsung.
“Yu, aku pulang dulu ya,” kata Ibnu mencoba basa-basi dengan Wahyu dari kejauhan.
Basa basi Ibnu dibalas dengan acungan jempol oleh pemuda berwajah ‘Batak’ itu.
“Iya bang. Bang Thoyib dapat salam nie dari Nina,” ujar Wahyu.
“Iya. Salam balik sama pacarmu itu. Tiap malam kau ajak dia ngeronda. Sakit nanti,” balas Ibnu sambil terkekeh.
Ibnu tak lagi mendengar omelan Wahyu karena candaannya tadi. Ia bergegas ke arah Supra Fit miliknya yang terparkir di sisi kanan Warkop. Dinyalakannya dan bergegas menuju jalan raya. Simpang Lima Kota Banda Aceh terlihat sepi. Ia melaju dengan kecepatan sedang hingga akhirnya mengarah ke Simpang Jambo Tape dan lurus ke arah Simpang Mesra. Dari sana, ia kemudian belok ke kiri menuju Jembatan Laksamana Malahayati hingga akhirnya berhenti di salah satu rumah mini yang dibangun oleh NGO usai tsunami di kawasan Kahju. Rumah sewa itulah yang ditempati Ibnu dan Siwak selama satu tahun terakhir.
Nama terakhir adalah sebutannya untuk teman serumah tadi. Nama aslinya adalah Ahmadi. Pria tadi merupakan eks mahasiswa asal Calang Aceh Jaya. Sama seperti dirinya, Ahmadi tetap bertahan di Banda Aceh meski kuliah sudah lama selesai. Mereka seumuran dan seangkatan.
Ahmadi kini honor di salah satu kantor pemerintahan. Keahliannya dibidang IT membuat ia dekat dengan para pria berseragam. Ahmadi berharap suatu saat ia bisa lulus jadi PNS serta pulang kampung.
“Pantang pulang sebelum berseragam.” Motto inilah yang dipegang kuat oleh Siwak.
Ia ingin melamar anak Toke Sawit di Calang. Konon gadis itu sedang menempuh pendidikan kebidanan di Meulaboh.
“Orangnya super cantik, Nu. Anak Toke Sawit lagi. Maharnya pasti tinggi. Tapi kalau aku lulus PNS, ayahnya pasti tak keberatan menikahkannya denganku. Kita hidup di dunia yang nilai seragam lebih tinggi dari harga diri,” ujar Ahmadi suatu ketika.
Mengingat itu, Ibnu tersenyum geli. Ia tak membantah apa yang disampaikan oleh Ahmadi. Ia mewakili pemikiran mayoritas generasi muda di Aceh saat ini. Karena menjadi PNS merupakan trend di Aceh.
“Nu, sudah pulang kau ya.” Tiba tiba suara itu terdengar. Ahmadi berdiri di depan pintu menyambut kepulangannya.
“Iya. Malam tahun baru. Banyak pelanggan di Warkop. Lumayan laku burgerku hari ini,” jawab Ibnu sambil memasukan sepeda motor miliknya dalam rumah.
“Jadi tak ada sisa burger yang kau bawa pulang?” tanya Ahmadi lagi dengan muka mengiba.
“Sorry wak. Habis total. Malam besok ya.”
Ahmadi mengangguk. Ia mungkin basa basi. Pria bertubuh jangkung itu memang sering kebagian burger ‘sisa’ rak di Warkop. Mungkin hal ini pula yang membuatnya menanyakan soal burger malam ini.
Ahmadi terdiam. Ia sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
“Ada apa?” tanyaku.
Ahmadi kemudian tersenyum. Sosok itu memang mudah ditebak jika menyimpan sesuatu masalah. Ia tidak bisa diam sebelum menyampaikan sesuatu yang dilihat atau dipikirnya itu. Demikian juga dengan malam ini. Ia menungguku pulang dan langsung menyapa. Mungkin ada masalah penting yang ingin disampaikannya.
“Aku tadi lihat Riska di Wong Solo.”
Dum. Detak jantungku terasa berhenti. Aku terdiam. Namun kucoba menguasai diri. Aku tak ingin kelemahanku ini diketahui oleh orang lain, termasuk oleh Ahmadi sekalipun. Kami sudah berteman lama, namun ada hal-hal yang memang harus kusimpan sendiri.
“Dia datang bersama pria muda berbaju loreng. Mereka terlihat mesra,” ujar Siwak. Perkataan terakhir tadi kembali membuat jantungku terasa copot. Namun aku mencoba untuk cuek.
“Syukurlah. Akhirnya ia mendapatkan pria seperti ayahnya.”
[Bersambung]
Penulis adalah Musa AM. Kesamaan nama, tempat dan alur dalam cerita ini hanyalah kebetulan belaka.

Comments
Post a Comment