Pada pertengahan abad ke 19, wabah kolera mulai melanda Batavia. Wabah ini bukan mengancam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Batavia, tetapi menjadi perantara tergerusnya Kesultanan Aceh yang tak pernah bertekuk lutut di hadapan penjajah.
Ketika Belanda memulai agresi keduanya ke Aceh, wabah kolera
mulai menjangkiti pasukan Belanda. Jenderal Jan van Swieten diangkat Loudon
menjadi Panglima Militer Tertinggi Ekspedisi ke Aceh kedua. Van Swieten adalah
ketika itu berusa 66 tahun. Ia telah pesiun sebagai Tentara Hindia Belanda. Ia
kemudian menjadi anggota Dewan Negara dan Komisaris Nederlands-Indische
Spoorwegmaatchappij, perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda (Paul van t’Veer:
1985).
Ekspedisi kedua membawa hampir tiga belas ribu orang. 389
perwira, 8156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana dan 234 wanita.
18 kapal perang uap, tujuh buah kapal uap angkatan laut, 12 kapal barkas, dua
kapal peronnda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat
pendarat yang terdiri dari 6 kapal uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, kurang
lebih 80 sekoci, beberapa sekoci angkatan laut dan sejumlah besar tongkang.
(Ibrahim Alfian: 2016)
Ekspedisi pun dimulai dengan pelayaran dari Batavia. Ribuan
orang berjejal dalam kapal-kapal selama 10-14 hari perjalanan. Pelayaran sudah
mengundang maut ketika wabah kolera pada Oktober 1873 telah mencapai Batavia.
Keberangkatan ekspedisi yang seharusnya dimulai 1 November 1873, diundur hingga
10 hari. (Paul van t’Veer: 1985)
Segera setelah berlayar, ribuan orang yang berjejal dalam
ekspedisi militer ke Aceh tersebut menjadi mangsa wabah kolera. Begitu
kapal-kapal mencapai Aceh, 60 orang sudah tewas akibat kolera. Begitu kapal
mendarat angka korban kolera segera meroket. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng
yang becek, dan kurangnya tenaga medis membuat jumlah korban wabah kolera
meningkat setiap hari. (Paul van t’Veer: 1985)
Angkanya terus meroket. Bahkan pada akhir bulan Desember telah
tewas 150 orang akibat kolera. 18 perwira dan ratusan bawahan segera dibawa ke
rumah sakit di Kota Padang, tanpa pembasmian hama terlebih dahulu. Sebelum
peluru ditembakkan dari ekspedisi ini, Van Swieten telah kehilangan lebih dari
sepersepuluh kekuatannya. (Paul van t’Veer: 1985)
Akibat khawatir akan penularan wabah pula, akhirnya pada 9 Desember
1873, satu dari ketiga brigade didaratkan di Pantai Rawa. Pasukan induk sendiri
akhirnya tiba di Peunayong setelah 14 hari menembus serangan pasukan Aceh.
Pertempuran untuk menguasai Masjid Raya terus berlangsung hingga akhir
Desember. (Mohammad Said: 2007)
Pasca menguasai Masjid Raya, pasukan Belanda merangsek ke Istana
Kesultanan Aceh. Celakanya mereka bukan hanya menembakkan peluru tetapi juga
menularkan kolera ke kubu Aceh. Kolera segera merebak di dalam Istana yang
sedang dipertahankan. (Mohammad Said: 2007)
Setidaknya 150 orang Aceh setiap hari tewas akibat kolera. Salah
satu yang ikut terkena kolera adalah Sultan Mahmud. Ia menjadi orang yang
terakhir Bersama Panglima Tibang keluar dari istana. Sultan kemudian diungsikan
ke Pagar Aye. Takdir menentukan berbeda. Pada 28 Januari 1874 Sultan Aceh
tersebut wafat. (Mohammad Said: 2007)
Kesultanan Aceh memang tak segera lenyap. Tetapi tak dapat
dipungkiri, kekuatan Kesultanan tersebut melemah pasca wabah kolera. Tidak
seperti di masa Turki Usmani abad pertengahan yang dilanda wabah The Black
Death hingga mengubah tatanan dunia dan membawa gelombang humanisme sekular di
Eropa, dampak wabah kolera di nusantara tak sedemikian dahsyat. Hanya saja
wabah tersebut turut menggerogoti kedaulatan Kesultanan Aceh yang telah berdiri
ratusan tahun.
Sungguh menarik jika dipikirkan. Amat mudah bagi Allah
membalikkan keadaan. Bukan lewat satu bencana yang terlihat kasat mata, tetapi
melalui zat yang bahkan mata kita tak mampu melihatnya. Di Eropa, wabah The
Black Death justru telah membuat masyarakatnya menoleh pada humanisme sekular
yang menyingkirkan Tuhan, setelah gagalnya kaum agamawan memberikan sikap yang
tepat pada persoalan-persoalan masyarakat di sana.
Sumber : Atjehwatch

Comments
Post a Comment