Meski
menjadi salah satu dari tujuh orang pertama yang menyatakan keislaman secara
terbuka atau terang-terangan, nama Miqdad mungkin lebih jarang diceritakan dibandingkan
kisah sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kisah Miqdad nyatanya tak jauh
berbeda dengan Bilal bin Rabbah.
Miqdad
yang sejatinya merupakan seorang pemikir ulung harus menanggung penderitaan
atas siksaan yang diterimanya dari kaum Quraisy. Namun berkat pemikiran dan
hati yang tulus pada Islam, Miqdad yang serta merta meninggalkan keyakinannya
hanya karena siksaan yang menimpanya. Sebaliknya, Miqdad semakin meneguhkan
keyakinan pada agama yang dibawa Rasulullah SAW.
Hingga suatu hari,
Rasulullah mengamanatkan Miqdad untuk memimpin suatu daerah dan melantiknya
sebagai seorang Amir (pemimpin). Miqdad pun mengemban amanat tersebut dengan
sangat baik, hingga sampai suatu ketika saat Miqdad kembali dari tugasnya,
Rasulullah bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang menjadi amir."
Dengan jawaban yang jujur, Miqdad mengatakan bahwa
dia tidak ingin meneruskan amanat sebagai amir. Keputusan ini diambil, karena
menurut dia dengan menjadi pemimpin kedudukannya berada di atas dari orang
lain. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ingin menempati posisi tertinggi,
Miqdad justru tidak menginginkan hal itu.
"Anda telah menjadikanku menganggap diriku
berada di atas semua manusia. Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran,
sejak saat ini aku tidak berkeinginan lagi menjadi pemimpin sekalipun untuk dua
orang untuk selama-lamanya," ucap Miqdad, dikutip dari buku Kisah Seru 60
Sahabat Rasul karangan Ummu Akbar.
Semenjak menempati
posisi sebagai Amir, Miqdad memang selalu dikelilingi oleh kemewahan dan
sanjungan dari banyak orang. Namun hal tersebut dipahaminya sebagai suatu
kelemahan yang dapat menjauhkannya dari agama.
Miqdad akhirnya memantapkan diri untuk
menghindarinya dengan cara mundur dari jabatannya sebagai Amir, meskipun
sebelumnya Miqdad telah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik. Maka
dari itu, saat Rasulullah menawarkan kembali jabatan tersebut, Miqdad
menolaknya.
Meski begitu, kecintaan Miqdad terhadap Islam sangat besar. Dia memiliki tanggung jawab penuh terhadap bahaya yang selalu mengancam, baik dari tipu daya musuh maupun kekeliruan kawan sendiri.
Sumber : Republika.co.id
Comments
Post a Comment