Salah satu perang kenamaan di masa Rasulullah adalah Perang Tabuk.
Perang ini terjadi pada tahun kesembilan Hijriah, tepatnya pada bulan Rajab.
Berdasarkan beberapa riwayat, seperti dalam kitab Sirah Nabawiyyah karya Ibnu
Hisyam, perang ini merupakan perang yang berat karena cuaca yang kering,
keadaan paceklik, serta lokasi peperangan yang jauh. Kisah berikut disarikan
dari keterangan kitab tersebut.
Di
antara rombongan umat muslim itu, tersebutlah Kaab bin Malik yang tidak ikut
serta dalam keberangkatan menuju Perang Tabuk. Sebelumnya, Kaab bin Malik
dikenal di kalangan sahabat sebagai orang yang terpercaya, golongan orang-orang
yang pertama masuk Islam, dan selalu mengikuti perang bersama Nabi. Orang-orang
tidak meragukan keimanannya.
Sayangnya, pada perang Tabuk ini, Kaab bin Malik ketinggalan
rombongan sebab keterlambatannya dalam menyiapkan perbekalan. Saat Kaab masih
bingung dalam persiapan menuju medan perang Tabuk, ternyata Nabi dan sahabat
lain sudah bergegas menuju medan peperangan.
Kaab
bin Malik pun gelisah karena keterlambatannya ini. Ia mengetahui bahwa ketika
ada umat muslim yang mangkir dari perang, dan bukan disebabkan alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka hal tersebut adalah termasuk dosa yang besar.
Dalam kegelisahannya itu, ketika keluar rumah, ia menemui bahwa
yang masih berada di sekitar lingkungannya adalah orang-orang yang bermaksud
mangkir dari peperangan – konon disebut kaum yang munafik – dan orang-orang
lemah yang tidak mampu berperang.
Di
sisi lain, seusai perang, Rasulullah SAW baru menyadari bahwa Kaab bin Malik
tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu. Ia menanyakan pada para sahabat,
"Kemanakah
Kaab bin Malik?"
Kemudian
ada yang mengatakan, konon seorang sahabat dari Bani Salimah, mempertanyakan
jangan-jangan Kaab ini mementingkan dirinya sendiri. Tapi langsung ia didamprat
oleh sahabat Muadz bin Jabal ra.
"Perkataanmu buruk sekali! Tidak pantas kau katakan itu atas
Kaab bin Malik!"
Kaab
menjadi resah saat ia tahu bahwa ia tertinggal dan absen dari perang. Hal yang
ia resahkan, adalah bagaimana ia akan berujar pada Nabi tentang keadaan yang
menimpanya. Sempat ada hasrat berbohong, tapi ia urungkan.
Setibanya
Nabi di Madinah, lalu menunaikan sembahyang sebagaimana beliau amalkan seusai
perang, orang-orang yang tidak mengikuti perang mendatangi beliau dan
menyampaikan alasan-alasan mereka. Disebutkan kurang lebih delapan puluh orang.
Nabi menerima alasan mereka, dan mengatakan bahwa beliau menyerahkan urusan
kebenaran dalam hati mereka dengan Allah. Kaab bin Malik pun menjadi rikuh.
Ia
beranikan diri mendatangi Nabi, lantas berkata dengan jujur.
"Sejujurnya Nabi, tidak ada yang menghalangi saya untuk
mengikuti perang. Saya rela mendapat hukuman atas kesalahan yang telah saya
perbuat. Daripada saya mendapat murka Allah atas alasan-alasan yang saya
perbuat, lebih baik saya mendapat hukuman darimu, Nabi."
Mendengar
pengakuan yang tulus itu, Nabi menerimanya. Namun karena beliau tahu bahwa
kesalahan yang diperbuat Kaab bin Malik adalah kesalahan yang besar, maka
beliau memutuskan untuk menunggu jawaban dari Allah. Rupanya selain Kaab bin
Malik, ada dua sahabat lainnya yang mengalami hal serupa, dengan alasan yang
sama dengan Kaab bin Malik.
Beberapa
hari kemudian, Nabi memerintahkan para sahabat untuk tidak mengajak bicara Kaab
bin Malik dan dua sahabat lainnya itu sebagai bentuk hukuman. Tentu saja bagi
mereka bertiga, hal itu terasa menyesakkan perasaan. Dalam riwayat, Kaab bin
Malik berusaha bertingkah biasa, namun bagaimanapun ia merasakan tekanan yang
berat saat diabaikan oleh sahabat-sahabat lainnya.
Ia
sempat berjumpa seorang sahabat, lantas bertanya, "Tidak tahukah engkau
bahwa aku ini sungguh mencintai Allah dan Rasul-Nya?"
Sahabat itu menjawab, "Hanya Allah dan Rasul-Nya yang
mengetahui tentang hal itu,"
Kaab
bin Malik semakin kesulitan. Kemudian pada hari keempat puluh, Nabi menambahkan
bahwa Kaab bin Malik dan dua sahabat lainnya yang tidak ikut perang tersebut
diminta untuk tidak mendekati istri-istri mereka. Tak terasa, hukuman itu
terjadi sampai lima puluh hari. Pada hari kelima puluh itu, Kaab bin Malik
melakukan salat sebelum fajar, lantas mengadukan masalahnya kepada Allah.
"Kaab!"
Terdengar suara Nabi memanggil. Kaab bin Malik terkejut.
"Sungguh,
ampunan Allah sudah tiba untuk kalian bertiga!” terang Rasulullah berseri-seri.
Kemudian Rasulullah menyebutkan tiga ayat dari surat At Taubah,
yaitu ayat 117 sampai 119 yang menjelaskan tentang ampunan Allah untuk mereka
bertiga.
Kaab
merasakah bahagia, yang dalam riwayat disebutkan bahwa ia tak pernah sebahagia
itu sejak dilahirkan ibunya. Kejujurannya berbuah manis, meski ia harus
menanggung konsekuensi atas alasan yang ia sampaikan akibat keterlambatannya
mengikuti perang.
Dan
memang diriwayatkan bahwa alasan keteledoran mereka itu, bukanlah bermaksud
untuk berpaling dari kewajiban perang, sehingga Allah mengampuni mereka
bertiga. Setiap kejujuran memang sering berimbas pahit, namun bagaimanapun, ia
adalah sikap berani mempertanggungjawabkan kesalahan, sebagaimana dicontohkan
Kaab bin Malik dan dua sahabat itu.
Sumber
: Merdeka.com
Comments
Post a Comment