ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Di Susun Oleh :
Tasnima Putri (180210073)
Rina Agustina (170210028)
Cut Rohadatul Aisy (190210027)
Fatimah wati (190210018)
Dosen Pembimbing : Dr. Syahrul Riza, M.A.
PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
AR-RANIRY
DARUSSALAM,BANDA ACEH
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami Panjatkan kehadiran Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN”. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi
Muhammad shalallahu‘alaihi wasalam.
Kami sangat bersyukur karena dapat
menyelesaikan makalah yang menjadi tugas filsafat Pendidikan ini
dengan juduL
“ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN”. Disamping itu, saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami
perbaiki karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya
Banda Aceh,juni 2022
Penulis
DAFTAR ISI
A.
Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat pendidikan merupakan hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal
pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat pendidikannya, berusaha menggali
ide-ide baru tentang Pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau
dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar
geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa, dari sudut pandang keberadaan
manusia akan menimbulkan aliran perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan
Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan
menimbulkan aliran esensialis, tradisionalis, progresivis, dan
rekonstruksionis.
Berbagai aliran filsafat Pendidikan
tersebut di atas, memberi dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori
Pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung masing-masing
filsafat itu. Dalam membangun teori-teori Pendidikan, filsafat Pendidikan juga
mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas kebenaran berdasarkan
kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori Pendidikan harus disusun
berdasarkan hasil-hasilpenelitian ilmiah.
Dalam proses pertumbuhannya,
filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang
kurun waktu dengan objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai
macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan
yang lain hannya bersifat saling
kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini
antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda,
walaupun untuk objek permasalahan sama. Karena perbedaan dalam system
pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda
pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain itu factor zaman dan
pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat di mana mereka
bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak Kembali sejarah
pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah di uraikan dalam
bab pertama, akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut diatas. Begitu pula
halnya dengan filsafat Pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan
berbagai pandangan atau aliran.
Untuk mengetahui perkembangan
pemikiran dunia filsafat Pendidikan, dibawah ini akan diuraikan garis-garis
besar aliran-aliran filsafat dalam Pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu Filsafat Pendidikan ?
2.
Apa itu Aliran Progressivisme ?
3.
Apa itu Aliran Esensialisme ?
4.
Apa itu Aliran Perenialisme ?
5.
Apa itu Aliran Idialisme?
6.
Apa itu Aliran Pragmatisme ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui tentang Aliran Pendidikan
2.
Mengetahui tentang Aliran Progressivisme
3.
Mengetahui tentang Aliran Perenialisme
4.
Mengetahui tentang Aliran Esensialisme
5.
Mengetahui tentang Aliran Idialisme
6.
Mengetahui tentang Aliran Pragmativisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Pendidikan
Pendidik yang peduli terhadap anak didiknya pasti akan
memikirkan pendidikannya, karena seorang pendidik pasti menginginkan anak
didiknya menjadi pintar, lulus, dan sukses dalam menggapai cita-citanya. Di
dalam dunia pendidikan hal yang harus dan pasti dipikirkan dan dibahas oleh
seorang pendidik adalah hakikat, latar belakang, tujuan, metode, evalusai, dan
segala susuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Di dalam memikirkan dan
membahas segala hal yang berkaitan dengan pendidikan itulah disebut dengan
filsafat pendidikan. Sebagaimana Redja Mudyahardjo di dalam bukunya “Filsafat
Ilmu Pendidikan” mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang
menyelidiki substansi pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan,
latar belakang, cara, hasil, dan hakikat ilmu pendidikan yang berhubungan dengan
analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.[1]
Menurut John Dewey yang dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah
di dalam bukunya “Filsafat Pendidikan” mengatakan, bahwa filsafat pendidikan
merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke
arah tabi’at manusia, maka filsafat bisa juga diartikan sebagai teori umum
pendidikan.[2]
Sedangkan Jalaluddin dan Abdulah Idi di dalam bukunya
“Filsafat Pendidikan” yang mengutip dari Asy-Syaibani menjelaskan, bahwa
filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan
proses pendidikan.[3]
Artinya dengan berfilsafat diharapkan persoalan-persoalan yang terdapat di
dalam pendidikan dapat terpecahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Muzayyin
Arifin, bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang memikirkan tentang
masalah kependidikan.[4]
Selain itu, Anas Salahudin di dalam bukunya Filsafat
Pendidikan juga merumuskan beberapa pengertian dari filsafat pendidikan, di
antaranya yaitu; Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat
pendidikan secara komprehensif dan kontemplatif tentang sumber, seluk beluk
pendidikan, fungsi, dan tujuan pendidikan. Filsafat pendidikan adalah
pengetahuan yang mengkaji proses pendidikan dan teori-teori pendidikan.
Filsafat pendidikan mengkaji hakikat guru dan anak didik dalam proses
pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Filsafat pendidikan mengkaji berbagai
teori kependidikan, metode, dan pendekatan daam pendidikan.Filsafat pendidikan
mengkaji strategi pembelajaran alternatif.Filsafat pendidikan mengkaji hakikat
tentang kurikulum pendidikan.Filsafat pendidikan mengkaji hakikat evaluasi
pendidikan dan evaluasi pembelajaran.Filsafat pendidikan mengkaji hakikat
alat-alat dan media pembelajaran.[5]
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa
filsafat pendidikan adalah suatu kegiatan berpikir kritis, bebas, teliti, dan
teratur tentang masalah-masalah yang terdapat di dalam dunia pendidikan agar
masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
B.
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
1.
Aliran Progressivisme
Aliran
progressivisme adalah suatu aliran yang sangat berpengaruh di abad ke-20 ini.
Pengaruh ini sangat terasa sekali khususnya di amerika serikat. Usaha
pembaharuan dalam dunia Pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran
progressivisme ini. Biasanya aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup
liberal ” The liberal road to cultural”.[6]
Aliran
progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam
sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua
tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asa eksperimen untuk menguji kebenaran
suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadian (Muhammad
Noor Syam, 1987: 228-229).
Aliran
progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar didunia Pendidikan saat ini.
Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak
didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berfikir,
guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990:146). Oleh
karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui Pendidikan yang otoriter.
Dengan
demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi
dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan
untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau
kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah dimana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program Pendidikan
yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi
karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, filsafat progesivisme
menghendaki sis Pendidikan dengan bentuk belajar “Sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991:
24).
Keyakinan-keyakinan progressivisme
tentang Pendidikan, John Dewey memandang bahwa Pendidikan sebagai proses dan
sosialisaai (Suwarno, 1992:62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan,
sebab belajar yang baik tidak cukup disekolah saja.
Dengan kata lain akal dan kecerdasan
anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (Transfer of knowledge), melainkan
juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2.
Aliran Perenialisme
a.
Pengertian
Perenialisme dan Sejarah
Secara etimologis, perenialisme diambil dari kata perennial
dengan mendapat tambahan –isme. Perenial berasal dari bahasa Latin yaitu
perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang berarti kekal,
selama-lamanya atau abadi. Sedangkan tambahan –isme di belakang mengandung
pengertian aliran atau paham (Hidayat dan Nafis, 2003: 39). Jadi perenialisme
dapat didefinisikan sebagai aliran atau paham kekekalan.
Pereniaisme dengan kata dasarnya perenial, yang berarti
continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time, yakni
abadi atau sampai kekal yang terus ada tanpa
akhir.
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa tradisi dipandang
juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah
manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan memang
merupakan hakikat insaniah manusia (Zuhairini, 2001: 27).
Pada aliran
perenialisme berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat
kekal dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, jadi aliran
ini dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada
nilai-nilai kebudayaan masa lampau. Maksudnya kembali pada masa lampau menurut
aliran ini, bukanlah dalam pengertian bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat
kembali pola kehidupan masa lalu, tetapi untuk membina kembali keyakinan akan
nilai-nilai asasi masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia
saat sekarang dan bahkan sampai kapan pun dan dimana pun (Syam, 1986: 295-297).
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas
empiris-positivistis yang memandang bahwa kebenaran dalam konteksnya yang serba
terukur, teramati dan teruji secara inferensial serta melihat realitas sebagai
sesuatu yang serba beracuan dengan materi, juga memunculkan berbagai masalah
dalam kemanusiaan seperti munculnya sikap ambivalensi yang mengkhawatirkan dan
akan mendatangkan kebimbangan, kecemasan, kebingungan, dan ketakutan dalam
bertindak serta bertingkah laku. Sehingga manusia hidup dalam ketidakmenentuan
dan cenderung akan kehilangan arah. Pengabaian berpikir logis dalam hal ini
juga memunculkan ketidak mampuan manusia melihat pengetahuan sebenarnya. Hal
ini mengingat corak kehidupan yang serba rasional bertujuan dengan landasan
empiris-positivistis yang melihat realita dunia dengn serba objektif dimana
kebenran ilmu berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara
ketat, sehingga menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar
orientasi dalam setiap kehidupan (Muhmidayeli, 2011: 159).
Kondisi diatas, tidak boleh dibiarkan begitu
saja, oleh karena itu perlu adanya usaha yang serius untuk menyelamatkan
manusia dari kondisi yang mengkhawatirkan dengan cara mencari dan menemukan
orientasi dan tujuan yang jelas , dan ini adalah tugas dari filsafat
pendidikan. Filsafat perenialis dalam hal ini
mengambil jalan regresif yaitu dengan cara mengembalikan arahnya seperti yang
telah menjadi prinsip dasar perilaku sebagaimana yang dianut pada abad
pertengahan dan masa kuno.
Secara filosofi, filsafat
perenialisme memiliki dasar pemikiran yang melekat pada aliran filsafat kuno
atau klasik yang ditokohi oleh Aristoteles, Plato, Aquinas dan Augustinus. Menurut
Sayyed Husein Nasr, istilah filsafat perenialisme ini digunakan pertama kali
oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyanya yang berjudul dengan De
Perennia Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540 M. Istilah menjadi lebih
populer di tangan Leubniz yang digunakan dalam suratnya kepada temannya Remundo
yang ditulis pada tahun 1715 M. Dalam konteks pendidikan, perenialisme ditokohi
oleh Robert Maynard Hutchins, Mortimer J. Adler dan Sir Richard Livingstone
(Syam, 1986: 297).
Prinsip dasar
perenialisme kemudian dikembangkan oleh Sayyed Husin Nasr yang mengatakan
pendapat bahwa setiap manusia yang lahir memilik fitrah yang sama yakni dengan
berpangkal pada asal kejadiannya sebagai manusia yang fitri, yang memiliki
konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sifat
manusia tidak berubah sama sekali karena prinsip-prinsipnya mengandung
kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu. Menurutnya tradisi yang
mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi dan
berkisambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu.
Menurut Sayyed Husein Nasr, perenialisme dalam konteks ini terlihat seperti
ingin mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri dan suci, yang
nantinya akan membuatnya memiliki watak kebaikan dan kesucian (Muhmidayeli,
2011: 160).
b.
Landasan Filosofis
Perenialisme
Dasar pemikiran filsafat perenialisme pada perkembangan
pemikiran filsafat pada umumnya, dasarnya pun terlihat dari keyakinan ontologis
seseorang tentang alam dan manusia. Pada aliran filsafat perenialisme memiliki
pandangan bahwa hakikat manusia adalah sebagai makhluk rasional yang akan
selalu sama bagi setiap manusia dimana pun mereka berada dan sampai kapan pun
dalam pengembangannya untuk dimasa depan. Keyakinan ontologis sedemikian,
membawa mereka pada suatu pemikiran, bahwa kemajuan dan keharmonisan yang
dialami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula diterapkan pada
manusia-manusia lain pada masa dan tempat yang berbeda, sehingga kesuksesan
masa lalu dapat pula diterapkan untuk memecahkan problem masa sekarang dan akan
datang bahkan sampai kapan pun dan dimana pun (Muhmidayeli, 2011: 161).
Aliran perenialisme
berkeyakinan bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat yang berbeda-beda,
hakikat manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh karena itu, pola dan corak
pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada siapa pun dan dimana punia berada.
Menurutnya, setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan yang sama karena memang
terlahir dari hakikat yang sama sebagai makhluk rasional. Aliran perenialisme
berpendapat, bahwa rasionalitas adalah hukum pertama yang akan tetap benar di
segala waktu dan tempat. Dengan prinsip rasionalitas ini pula akan memunculkan
adanya prinsip kesadaran dan kebebasan. Aliran ini berkeyakinan bahwa dimana
pun manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh karena itu apapun pola
pendidikan yang diterapkan, seorang manusia akan tetap menerima pendidikan
tersebut. Karena kita terlahir sebagai makhluk rasional yang membedakan dengan
makhluk lainnya (Siregar, Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan, 2, Oktober 2016:
83-172).
Para penganut
filsafat perenialisme berpendapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental
disiplin) merupakan bagian yang sangat penting dalam belajar atau keutamaan
selama proses pembelajaran. Oleh karena itu teori dan program pendidikan pada
umumnya dipusatkan pada pembinaan kemampuan berpikir dan disiplin. Pendidikan
dalam teori ini dimaknai dengan suatu aktivitas yang menitikberatkan programnya
pada perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan. Prestasi yang gemilang dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus diraih oleh manusia di alam
modern dan telah menunjuk pada perkembangan tiada tara dalam peradapan manusia.
Sebagai salah satu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini, Aristoteles
mengungkapkan bahwa penekanan dalam melatih dan membiasakan diri merupakan hal
yang mendasar bagi pengembangan kualitas manusia. Oleh karena itu, kesadaran
disiplin mental seharusnya ditanamkan dan dikembangkan sejak usia dini.
c.
Tokoh-Tokoh
Perenialisme
Secara maknawi teori
perenialisme sudah ada sejak zaman filosof abad kuno dan pertengahan. Seperti
halnya dalam bidang pendidikan, konsep dari filsafat perenialisme dalam
pendidikan dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat plato yang mana diyakini
sebagai bapak idealisme klasik, filsafat Aristoteles yang diyakini sebagai
bapak realisme klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba untuk memadukan
antara filsafat Aristoteles dengan ajaran filsafat Gereja Katolik yang tumbuh
pada zamannya atau pada abad pertengahan (Sadulloh, 2012: 152).
·
Plato
Plato hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian,
yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut filsafat
sofisme adalah manusia itu sendiri secara pribadi, maksudnya adalah pada zaman
itu tidak ada kepastian dalam hal moral dan kebenaran, sehingga tergantung pada
masing-masing individu itu sendiri. Plato berpandangan bahwa realitas yang
hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari
asalnya. Esensial realita, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal. Dengan demikian
keterlibatan sosial hanya akan mungkin bila ideal itu menjadi standart, asas
normatif dalam tata pemerintahan. Dan tujuan pendidikan adalah membina pemimpin
yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan. Menurut Plato, dunia ideal adalah segala sesuatu yang bersumber dari
ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai
moral dengan menggunakan akal atau rasio (Pelu, Jurnal Sejarah dan
Pembelajarannya, 2, Juli 2011).
Tujuan utama dari
pendidikan adalah membina seseorang agar memiliki sikap yang sadar akan asas
normatif dan melaksanakannya dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat yang
ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia
yang hidup atas dasar prinsip idea mutlak, yaitu suatu prinsip mutlak yang
menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental
yang membimbing manusia untuk menemukan apa itu kriteria politik, moral, dan
sosial serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi
masyarakat saat ini perlu adanya sesuatu kebijakan pemerintah, pemerintah wajib
memberikan pendidikan, fasilitas yang layak untuk anak-anak bangsa. Karena
memperbaiki nasib dan masa depan mereka merupakan kewajiban bersama.
·
Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato, namun dalam pemikiran-nya
mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut
filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang
lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana ajaran
Aristoteles meneruskan ide-ide Plato, tetapi dengan cara yang lebih dekat
dengan realitas dunia, dan tidak lebih supernatural dan exstra-natural seperti
konsepsi Plato. Aristoteles terutama menitik beratkan pada pembinaan berpikir
melalui media sciences dan terutama dengan filsafat tentang pembinaan pemimpin
yang bijak dalam rangka tujuan politik dan kehidupan negara, ia sependapat
dengan gurunya yaitu Plato.
Aristoteles juga menganggap pembinaan kebiasaan sebagai
dasar. Terutama dalam pembinaan kesadaran disiplin atau moral, harus melalui
proses permulaan dengan
kebiasaan pada waktu anak masih usia dini. secara ontologis, ia mengatakan
bahwa sifat atau watak anak lebih banyak materi-materi dari pada bentuk, dan ia
masih dalam proses “jauh” dan aktualitas. Dengan kata
lain, guru lebih banyak mempunyai aktualitas, sedangkan murid lebih banyak
potensilitas (Syam, 1986: 321). Aristoteles juga mengungkapkan bahwa manusia
adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa
manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai
makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang
menuju kepada manusia ideal. Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian
pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya (Pelu, Jurnal Sejarah dan
Pembelajarannya, 2, Juli 2011).
Penting sekali
pembinaan dasar yang harus diberikan kepada anak didik oleh para orang tua,
guru dan masyarakat umum. Terutama yang menyangkut dengan masa depan mereka,
kehidupan mereka harus ditanamkan nilai-nilai yang bagus sejak dini. bimbingan
moral, akhlak dan perilaku dalam pergaulan dengan lingkungan sosial. Anak didik
perlu diperkaya dengan siraman rohani, mereka harus senantiasa diawasi, memberikan
bimbingan serta dorongan yang penuh ekstra agar mereka menjadi orang-orang yang
bermartabat dan penuh dengan tata krama dalam mewarnai kehidupan dalam
lingkungan sosial (Sulaiman, Serambi Tarbawi, 1, Januari 2013).
·
Thomas
Aquinas
Persamaan Aquinas dengan
Aristoteles adalah dalam kepercayaan tujuan pendidikan sebagai usaha mewujudkan
kapasitas (potensial) yang ada di dalam individu agar menjadi aktif, dan nyata
menjadi aktualitas. Peran guru terutama mengajar (to
instruc) dalam arti memberi bantuan pada anak untuk berpikir jelas dan mampu
mengerti hukum pertama secara intuitif (Syam, 1986: 322).
Thomas berpendapat bahwa pendidikan adalah menuntun
kemampuankemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada
kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugas untuk menolong
membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan
nyata. Aquinas menganalogikan fungsi
guru sebagaimana fungsi seorang dokter. Dokter berfungsi membantu orang sakit
agar sehat, sebab orang yang sakit punya kecenderungan sembuh dan sehat.
Seperti itu pula, tugas seorang guru ialah membantu perkembangan
prestasi-prestasi yang ada pada anak untuk berkembang. Kedua tugas itu, oleh
dokter dan guru, tidak mungkin sukses tanpa adanya potensi yang sudah tertanam
pada diri manusia.
Guru adalah
orang-orang yang profesional, memiliki kemampuan dalam mendidik anak-anak.
sebagai tugas utamanya mengajar, menggali potensi yang ada pada anak didik
serta mengarah dan membina agar anak didik kelak menjadi manusia yang bernilai.
Menurut J. Maritain, norma fundamental pendidikan adalah:
cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka
terhadap eksistensi, cinta kerjasama.
Kaum perenialis juga
percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak
berubah selama berabad-abad. Gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang
paling besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Selain
itu, filsafat perenialis lebih menekankan pada kemampuan berpikir rasional
manusia sehingga hal tersebut yang membedakan antara mereka dengan binatang
(Pelu, Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya, 2, Juli 2011).[7]
3.
Aliran Esensialisme
Secara etimologi
esensialisme berasal dari bahasa inggris yakni essential yang berarti inti atau
pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Essensialisme
adalah istilah yang kurang jelas dan mencakup paham yang meneliti essensi,
yaitu apa yang membuat sesuatu adalah sesuatu tersebut, berlawanan dengan
kontingensi, yaitu sesuatu yang hanya kebetulan, yang ketiadaannya tidak akan
meniadakan sesuatu tersebut. Dalam filsafat, “Essensialisme” adalah paham
tentang manusia yang berlawanan dengan “eksistensialisme”. Essensialisme
bertujuan mengutamakan essensi dibandingkan dengan eksistensi. Dia tidak
memperkirakan individu bebas memilih dan menentukan, melainkan individu dianggap
sebagai hasil dari determinisme yang menentukannya dan yang tidak dapat lepas
darinya. Essensilisme menghidupkan kembali debat yang memperlawankan alam dan
kebudayaan.
Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu
aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama.
Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat
kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama
itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu.
Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman
Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke
14 Masehi. Didalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya
usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta
kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi
purbakala. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah
aliran yang lahir dari perpaduan dua aliran dalam filsafat yakni idealisme dan
realisme.
Dalam berbicara pendidikan, aliran
Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan
fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang
berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang
stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhinya adalah
yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang memiliki hubungan empat abad
sebelumnya. Sejak zaman renaissance, sebagai pangkal timbulnya
pandangan-pandangan esensialisme awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah
pada pertengahan kedua abad ke-19.
a.
Sejarah
lahir dan Ciri Aliran Esensialisme
Idealisme dan
realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran
ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep
pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme
adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Maka aliran ini juga
disebut sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan modern, selain dari
progresivisme, perennialisme, dan rekonstruksionalisme.
Esensialisme pertama-tama muncul dan
merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka,
disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam
semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme modern, yang menjadi salah satu
eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari
keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri
sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman
terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan
penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan
sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik,
maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil
tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek
semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Idealisme modern mempunyai pandangan
bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik
dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan
pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai
makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Menurut
pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau
gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang
dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala
sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan
menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu
kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.
Sedangkan, ciri-ciri filsafat
pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai
berikut :
·
Minat-minat
yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upayaupaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
·
Pengawasan
pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
·
Oleh
karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
·
Esensialisme
menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang
lemah.
b.
Tokoh-Tokoh Aliran Esensialisme dan
Pandangannya Tentang Pendidikan
Adapun para pemikir besar (tokoh) yang telah
dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsafat paham (aliran) esensialisme,
yaitu terutama yang hidup pada zaman klasik; Plato, Aristoteles, Demokritos.
Plato dianggap sebagai bapak obyektive idealisme dan juga sebagai peletak dasar
teori modern dalam esensialisme. Sedangkan Aristoteles dan Demokritos, keduanya
dianggap sebagai bapak obyektive realisme. Kedua ide tersebut (idealisme dan realisme)
itulah yang menjadi latar belakang thesis essensialisme.
Adapun pandangan
tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan
Amos Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra,
karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (17761841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan
hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart
disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T. Harris
(1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan
terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan
ke-satuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun-temurun dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki
agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial yaitu yang telah teruji
oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman.
Ada beberapa tokoh
terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus
memberikan pola dasar pemikiran mereka.
·
Desidarius
Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada
akhir abad ke 15 dan permulaan abad ke, adalah tokoh pertama yang menolak
pandangan hidup yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di
sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti
oleh kaum tengahan dan aristokrat.
·
Johann
Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang berusaha
mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis,
dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikaan
adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
·
John
Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai “pemikir dunia”
mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
·
Johann
Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam
itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang
transendental, dan manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan
Tuhan.
·
Johann
Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula yang corak
pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti
ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak sebagai
makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta
didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
·
Johann
Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang
berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan
hukumhukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut “pengajaran yang mendidik”
dalam proses pencapaian pendidikan.
Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (18351909)-pengikut
Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia
bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan
susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah
sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan
menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat.[8]
4.
Aliran Idealisme
Idealisme adalah filsafat yang menyatakan hakikat spiritual manusia dan
alam semesta. Sudut pandang dasarnya menekankan pada roh manusia, jiwa atau
pikiran sebagai unsur paling penting dalam hidup. Idealisme memandang bahwa
baik, benar, dan indah secara permanen adalah bagian dari struktur alam semesta
yang koheren, tertib, dan tidak berubah. Dalam idealisme, semua realitas
direduksi menjadi satu substansi-roh yang fundamental. Materi itu tidak nyata.
Hanya pikiran yang nyata.
·
Implikasi
Pendidikan Idealisme:
Tujuan Pendidikan – Pendidikan idealisme bertujuan untuk memberikan
kontribusi pada pengembangan pikiran dan diri. Dengan demikian, sekolah harus
menekankan kemampuan intelektual, moral, penilaian, estetika, realisasi diri,
kebebasan individu, tanggung jawab individu dan kontrol diri.
Kurikulum - Tubuh materi pelajaran yang ideasional dan konseptual ada pada
mata pelajaran yang penting bagi realisasi perkembangan mental dan moral.
Materi pelajaran harus dibuat konstan untuk semua. Matematika, sejarah, dan
literasi berada dalam dalam satu relevansi karena semuanya tidak hanya kognitif
tetapi sarat-nilai.
Metodologi - Metode yang akan
digunakan dalam proses pembelajaran harus mendorong akumulasi pengetahuan dan
pemikiran dan harus menerapkan kriteria untuk evaluasi moral. Meskipun belajar
adalah produk dari aktivitas peserta didik sendiri, namun proses pembelajaran
harus dibuat lebih efisien dengan stimulasi yang berasal dari lingkungan guru
dan sekolah. Guru idealis harus fasih dengan berbagai metode dan harus
menggunakan metode tertentu yang paling efektif dalam memperoleh hasil yang
diinginkan. Metode yang
disarankan
adalah dengan (mengajukan) pertanyaaan dan diskusi, kuliah dan tentu saja,
proyek, baik yang dilakukan secara individu atau kelompok.
Hubungan guru - peserta didik. Guru
harus baik secara mental dan moral dalam perilaku dan keyakinan. Guru harus
melatih keterampilan kreatif dan memberikan kesempatan bagi pikiran peserta
didik untuk menganalisis, menemukan, mensintesis dan menciptakan. Pesrta didik
dianggap belum matang dan perlu mencari perspektif dalam kepribadiannya
sendiri. Guru harus melihat perannya dalam membantu peserta didik untuk
mewujudkan kepenuhan kepribadiannya sendiri.
5.
Aliran Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata Yunani
pragma, artinya 'sesuatu yang dilakukan, sebuah fakta yang dipraktekkan'.
Doktrin ini menyatakan bahwa arti proposisi atau ide terletak pada konsekuensi
praktisnya. Filsafat ini menekankan bahwa pendidikan telah sia-sia jika tidak
melakukan fungsi sosial yang ditugaskan untuk itu.
Kaum pragmatis mengklaim bahwa
masyarakat tidak dapat memenuhi tugas pendidikan tanpa sebuah lembaga yang
dirancang untuk tujuan tersebut. Sekolah harus menjaga hubungan intim dengan
masyarakat jika ingin memainkan perannya dengan baik. Mereka juga menegaskan
bahwa sekolah harus bertujuan untuk institusi khusus dengan tiga sasaran: (1)
dirancang untuk mewakili masyarakat untuk anak dalam bentuk yang
disederhanakan; (2) selektif secara kualitatif, jika tidak etis, mengingat ia
merepresentasikan masyarakat untuk kaum muda; dan (3) bertanggung jawab dalam
memberikan anak pemahaman yang seimbang dan benar-benar representatif dengan
masyarakat.
·
Implikasi
Pendidikan Pragmatisme
Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan menurut kaum pragmatis adalah
pengembangan total anak baik melalui pengalaman, kegiatan diri, atau belajar
dengan melakukan (learning by doing).
Kurikulum - Kaum pragmatis
menganggap bahwa kurikulum harus menawarkan pelajaran yang memberikan
kesempatan bagi berbagai proyek dan kegiatan yang relevan dengan kebutuhan,
kemampuan, dan minat serta kondisi sosial ekonomi peserta didik.
Metodologi - Kaum pragmatis percaya
bahwa peserta didik harus menjadi pusat dari semua proses edukatif, suatu konsep
berdasarkan prinsip Dewey bahwa pendidikan adalah kehidupan, pendidikan adalah
pertumbuhan, pendidikan adalah proses sosial, dan pendidikan adalah konstruksi
pengalaman manusia.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat
Pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke
akar-akarnya mengenal Pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang Pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan
pendidik maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu
bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran
perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari
sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran esensialis,
Tradisionalis, Progresivis, dan Rekonstruksionis.
filsafat
pendidikan adalah pengetahuan yang menyelidiki substansi pelaksanaan pendidikan
yang berkaitan dengan tujuan, latar belakang, cara, hasil, dan hakikat ilmu
pendidikan yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan
kegunaannya. Menurut John Dewey yang dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah di
dalam bukunya “Filsafat Pendidikan” mengatakan, bahwa filsafat pendidikan
merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke
arah tabi’at manusia, maka filsafat bisa juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.
Sedangkan Jalaluddin dan Abdulah Idi di dalam
bukunya “Filsafat Pendidikan” yang mengutip dari Asy-Syaibani menjelaskan,
bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan
proses pendidikan.Artinya dengan berfilsafat diharapkan persoalan-persoalan
yang terdapat di dalam pendidikan dapat terpecahkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Muzayyin Arifin, bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang memikirkan
tentang masalah kependidikan.
Selain itu,
Anas Salahudin di dalam bukunya Filsafat Pendidikan juga merumuskan beberapa
pengertian dari filsafat pendidikan, di antaranya yaitu; Filsafat pendidikan
adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan secara komprehensif dan
kontemplatif tentang sumber, seluk beluk pendidikan, fungsi, dan tujuan
pendidikan. Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang mengkaji proses
pendidikan dan teori-teori pendidikan. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat
guru dan anak didik dalam proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas.
B. Saran
Kami selaku pemakalah,
menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Tentunya, Penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Mudyahardjo,
Redja, Pendidikan Ilmu Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2004).
Abdullah Idi dan
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)
cet. Ke-2.
Arifin,
Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) cet.
Ke-7, Ed. Rev.
Salahudin, Anas,
Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. Ke-10.
Brameid
Theodore, The Patern of Education Philosophy, the Mac. Millan Company,
New Yok, 1956.
Istimah Naila Afiyah, Filsafat
Perenialisme dalam Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini, 2020, jurnal pendidikan
Raudhatul Athfal, volume 3, nomor 2. hlm 54.
Muhammad Ichsan Thaib,
Esensialisme dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, tahun 2015, volume 4,
nomor 2. hlm, 733.
Sudarto Murtaufiq, Telaah Kritis
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan, tahun 2014,volume 8, nomor 2, hlm.193-195
[1]
Redja Mudyaharjo, Pendidikan Ilmu Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya,
2004), Hlm. 3-4.
[2]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002) cet. Ke-2, Hlm. 13.
[3]
Ibid, Hlm. 13.
[4] Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) cet.
Ke-7, Ed. Rev., Hlm. 5.
[5]
Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
cet. Ke-10, Hlm. 22-23.
[6]
Theodore Brameid, The Patern of Educational Philosophy, The Mac. Millan
Company, New Yok, 1956
[7] Istimah Naila Afiyah, Filsafat
Perenialisme dalam Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini, 2020, jurnal pendidikan
Raudhatul Athfal, volume 3, nomor 2. hlm 54.
[8] Muhammad Ichsan Thaib, Esensialisme dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, tahun 2015, volume 4, nomor 2. hlm, 733.
[9] Sudarto Murtaufiq, Telaah
Kritis Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan, tahun 2014,volume 8, nomor 2,
hlm.193-195
Comments
Post a Comment