Kopi ‘Warisan Belanda’ di Aceh
“Jep kupi mangat bek pungo.” Artinya kira-kira, minum kopi supaya tidak gila.
Ungkapan ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari di Aceh. Terutama bagi generasi muda di Aceh saat ini. Tradisi ngopi sendiri, seakan begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari. Kebiasaan ‘ngopi’ di Aceh juga jauh di atas rata-rata nasional atau kebiasaan masyarakat di daerah lain.
“Kalau di daerah lain, ngopi itu paling lama 45 menit, kemudian bubar. Atau beli kopi, kemudian jalan. Tak ada (warung kopi) yang kursi dan mejanya banyak(seperti di Aceh-red). Tapi di Aceh, istilah ngopi itu berbeda. Ngopi itu bisa seharian. Apalagi jika ada pembahasan yang menarik,” ujar Boru Atta, seorang turis dari Kalimantan kepada penulis di salah salah satu Warkop di Kota Banda Aceh, sebulan lalu.
Kopi menjadi aktivitas pertama bagi masyarakat di Aceh dalam mengawali pagi.
“Leumoh that lagoo. Peu hana leuh kupi lom?”
“Sang hana keunong kupi beugoh lom. Makajih hana focus.”
Dua kalimat di atas ditunjukan kepada seseorang yang terlihat lesu atau tidak semangat bekerja di pagi hari.
Satu kalimat lainnya yang membuat kopi kian ngetrend di Aceh diucapkan oleh Teuku Umar.
“Beugoh singoh ta jep kupi di Meulaboh atawa lon ka syahid.”
Semua kalimat di atas menunjukan tradisi ngopi yang begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Padahal, sebelum abad ke 19, kalimat seperti ini, mungkin jarang atau tidak pernah sama sekali diungkapkan oleh buyut orang Aceh.
Sebelum abad 19, buyut orang Aceh, justru lebih mengenal istilah Ie Teubee atau air tebu. Setidaknya hal ini tercatat dalam beberapa referensi buku yang mengupas tentang kebiasaan masyarakat Aceh.
“Bagi kebanyakan orang biasa di Aceh, air putih adalah hampir satu-satunya minuman, dari waktu ke waktu (sesekali) ia akan minum air tebu,” tulis Snouck Hurgronye dalam buku Aceh di Mata Kolonialis jilid I.
Kebiasaan minum air tebu di kalangan masyarakat Aceh saat itu, memunculkan istilah,”Peng ngon bloe ie teubee.”
Tanaman kopi sendiri, berdasarkan catatan sejarah, di bawa ke Aceh oleh Belanda melalui Batavia sekitar tahun 1908. Belanda menemukan daratan tinggi yang luas dengan iklim sejuk yang dinilai cocok untuk pengembangan tanaman kopi di Aceh. Daratan tersebut adalah Gayo.
Sekitar tahun 1924, Belanda kembali mengumpul sejumlah orang kaya di Eropa untuk turut bekerjasama untuk membuka perkebunan yang lebih luas di daerah Gayo. Kondisi ini kemudian sedikit demi sedikit membuat warga Aceh mulai tertarik menanam kopi. Aktivitas tersebut kemudian mengubah paradigma masyarakat di Aceh, dari Ie Teubee ke kupi.
Kiban kaleuh meukupi uroe nyoe?

Comments
Post a Comment