Inong Balee, Para Pejuang Perempuan dalam Lintasan Sejarah Aceh
Historiografi perempuan Aceh menempatkan inong
balee sebagai ikon perlawanan perempuan. Secara harfiah, ia merujuk pada janda
atau perempuan yang kehilangan suaminya akibat konflik. Dalam sejarah Aceh, ia
juga merujuk pada tentara perempuan abad ke-17. Inong balee dinarasikan sebagai
simbol kekuatan militer, politik, dan kultural. Pada abad ke-16, simbol militer
dan politik diwujudkan dalam aksi perlawanan dan diplomasi melawan Portugis.
Sedangkan, simbol kultural mengkristal dalam pewarisan keberanian pejuang
perempuan pada masa perang melawan Belanda sepanjang 1873-1912. Representasi
atau personifikasi yang terkenal dari inong balee yang paling terkenal adalah
Laksamana Keumalahayati.
Gelar Laksamana yang disandangnya menguatkan
posisi Keumalahayati, bukan hanya sebagai pejuang, tetapi juga sebagai
pemimpin. Masyarakat Aceh menempatkan Keumalahayati sebagai pahlawan—pada
November 2017, Presiden Joko Widodo pun menentapkannya secara resmi sebagai
pahlawan nasional. Historiografi tentang Keumalahayati telah banyak ditulis, di
antaranya oleh Solichin Salam, Ibrahim Alfian, dan Rusdi Sufi. Meski begitu,
eksistensi Keumalahayati sebenarnya masih sumir karena minimnya sumber sejarah.
Sebelum Keumalahayati menjadi subjek penelitian sejarah, nama dan kisahnya
lebih dulu tersua dalam karya sastra. Adalah Marie van Zeggelen (1870–1957)
yang telah mengabadikan kisah Keumalahayati dalam roman berjudul Oude Glorie
(Kemuliaan Masa Lalu).
Elsa
Clavé-Celik dalam artikel “Silenced Fighters: An Insight into Women Combatants
History in Aceh (17th-20th c.)” yang terbit di jurnal Archipel (2014) menyebut,
van Zeggelen adalah istri seorang serdadu Belanda yang pernah ditugaskan ke
Aceh. Kemungkinan besar, van Zeggelen mendasarkan romannya pada tradisi lisan
tentang sang laksamana. Meski begitu, roman yang terbit pada 1935 ini kemudian
menjadi “sumber” pertama dan utama tentang Keumalahayati yang sering dikutip
oleh beberapa sejarawan. Jennifer Dudley dan Rusdi Sufi, misalnya, pernah
keliru menyebut van Zeggelen sebagai “sejarawan Belanda”. Pendapat Clave-Celik
itu diperkuat oleh catatan peninggalan John Davis, seorang penjelajah asal
Inggris yang mengunjungi Aceh pada 1599. Catatan Davis menyebutkan bahwa
Kesultanan Aceh memang memiliki seorang laksamana perempuan. Namun, Davis tidak
pernah menyebut namanya secara spesifik sehingga sulit dikonfirmasi. Dan lagi,
tak ada sumber Belanda dari masa itu yang menyebut nama Keumalahayati.
“Terlepas dari eksistensinya yang masih diperdebatkan, Keumalahayati tetap
hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Aceh. Dia tidak diragukan lagi adalah
satu-satunya laksamana yang namanya, asli atau bukan, terus hidup dalam
ingatan,” tulis Clave-Celik.
Mengakui Keumalahayati
Persoalan ini membuat Laksamana Keumalahayati
memiliki posisi yang unik dalam sejarah. Memang agak sulit menyimpulkan
eksistensinya dalam sejarah tanpa ada dokumen otentik. Meski begitu, penetapannya
sebagai pahlawan nasional dapat dibaca sebagai pengakuan bahwa dia bukanlah
tokoh fiktif. Selain itu, pada akhirnya muncul pula pemakluman. Tradisi lisan
dan jejak arkeologis, seperti makam dan Benteng Inong Balee, dapat menjadi
alternatif untuk mengisi kekosongan dokumen sebagai sumber sejarah. Yang
terpenting, hal itu tidak dipakai untuk kepentingan yang destruktif.
Terlepas dari perdebatan itu, kemunculan
Keumalahayati dalam historiografi perempuan Aceh adalah sebuah “kebutuhan”
politis dan sosio-kultural terkait posisi perempuan Aceh. Keumalahayati adalah
sosok yang tidak semata-mata menempati hierarki kekuasaan—seperti halnya
Sultanah Taju Safiatuddin Shah Alam (1641-1675), Sri Ratu Naqiatuddin Nurul
Alam (1675-1678), Sri Ratu Zaqiyatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu
Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699), tapi juga berperan sebagai pejuang yang
melawan penjajah.
Bagi masyarakat Aceh, sosok Keumalahayati
mewakili konsep etika dan tanggung jawab (reusam) sebagai manusia Aceh. Konsep
ini bersumber dari sebuah hadih maja atau peribahasa dari abad ke-17. “Adat bak
Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak
Laksamana—Adat berasal dari Po Teumeureuhom, hukum berasal dari Syiah Kuala,
kanun berasal dari Putroe Phang, reusam berasal dari Laksamana,” demikian
peribahasa itu berbunyi. Menurut Muhammad Umar dalam buku Darah dan Jiwa Aceh
Mengungkap Falsafah Hidup Masyarakat Aceh (2003), kata laksamana dalam ungkapan
itu merujuk pada Keumalahayati. Oleh sebab itu, Keumalahayati sejajar dengan
tiga tokoh lain, yaitu Sultan Iskandar Muda (Po Teumeureuhom) sebagai simbol
kepemimpinan, Syekh Abdurrauf Singkili (Syiah Kuala) sebagai simbol
religiositas dan kecendekiaan, dan istri Iskandar Muda (Putroe Phang) sebagai
simbol keadilan hukum.
Nama Keumalahayati juga sering diasosiasikan
pada inong balee. Berawal dari rasa marah atas kematian suaminya dalam perang,
Keumalahayati lalu membentuk pasukan yang awalnya terdiri dari para perempuan
yang senasib dengannya. Pasukan ini lebih dikenal dengan nama ‘Armada Janda’.
Secara historiografis, langkah Keumalahayati menjadi cara memuliakan janda.
Menurut Clave-Celik, dia berhasil menciptakan materi micro history pada saat
orang-orang kecil tidak punya tempat dalam sejarah.
Terbukti, makna inong balee kemudian
bergeser—bukan hanya untuk menyebut perempuan janda, tapi juga perempuan
bersuami dan gadis remaja yang ikut berjuang melawan penjajah. Dan lagi, jiwa
patriotisme perempuan Aceh bersumber dari perjuangan pasukan inong balee
melawan Portugis. Keumalahayati membuktikan diri bisa menewaskan Cornelis de
Houtman dan menangkap adiknya, Frederick de Houtman, pada 1599. Bukan hanya
itu, pada 1601, dia juga berperang melawan petualang Belanda lainnya, yaitu
Paulus Willemsz van Caerden.
Pejuang
Perempuan
Peran perempuan sebagai pejuang kembali
bergelora ketika rakyat Aceh melawan Belanda pada abad ke-19. Inong balee
kembali jadi bagian penting dalam perlawanan itu. Contoh menarik adalah
perjalanan Cut Nyak Dhien bersama suami pertama dan keduanya. Suami pertama Cut
Nyak Dhien adalah Teuku Ibrahim Lamnga. Setahun setelah keduanya menikah,
tepatnya pada 1873, Teuku Ibrahim ikut berperang melawan Belanda.
Malang,
Teuku Ibrahim tewas dalam sebuah peperangan pada 1878. Beberapa bulan kemudian,
Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar yang umurnya lebih muda. Kala
itu, Teuku Umar telah mempunyai dua istri, yaitu Cut Nyak Sapiah dan Cut Nyak
Meuligoe. Pertemuan antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar digambarkan oleh
Magdalena Hermina Szekely-Lulofs dalam roman Tjoet Nja Dhien (1952).
Szekely-Lulofs adalah perempuan Belanda yang lahir di Jawa dan tumbuh besar di
Sumatra. Clave-Celik menyebut, Szekely-Lulofs mengetahui kisah perlawanan Cut
Nyak Dhien melalui dokumen Belanda dan syair Hikayat Prang Gompeuni gubahan
pujangga Dokarim. Szekely-Lulofs menggambarkan bahwa Cut Nyak Dhien melihat
Teuku Umar sebagai jalan untuk membalas dendam terhadap Belanda yang telah
mengacaukan keluarganya.
Hal itu menjadi faktor psikologis yang
menumbuhkan keberanian Cut Nyak Dhien untuk menikah lagi. “Hati Umar bergetar
melihat muka wanita yang lusuh oleh geram dan berang itu. Saudara sepupunya ini
berdarah bangsawan yang panas. [...] Kata kesetiaan membisikkan Teuku Umar
untuk membantu wanita yang menjanda ini,” tulis Szekely-Lulofs. Narasi
Szekely-Lulofs itu cukup menggambarkan bahwa pernikahan Cut Nyak Dhien dengan
Teuku Umar dilatari oleh kepentingan politik.
Demi
melanjutkan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien mengesampingkan urusan
perasaan perempuan dan menjalani poligami. Sepanjang pernikahan keduanya ini,
Cut Nyak Dhien menghabiskan waktu bersama Teuku Umar di tengah perang melawan
Belanda. Clavé-Çelik dalam Images of the Past and Realities of the Present:
Aceh’s Inong Balee (2008, PDF) menyebut, sejarah terkadang menyebut
kepahlawanan Cut Nyak Dhien melebihi suaminya.
Inong Balee di Era DOM
Inong
balee kembali muncul dalam historiografi perempuan Aceh sekira 1989, seiring
dengan memuncaknya konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI.
Lalu, pada 1990, Pemerintah RI bahkan menetapkan Aceh dalam status Daerah
Operasi Militer (DOM). Pada masa ini, makna inong balee mengalami pergeseran. Mereka
bukan hanya para janda perang, tapi juga para gadis dan perempuan bersuami yang
tergabung dalam GAM. Mereka pun turut melawan Pemerintah RI dan ABRI.
Tak sekadar mengangkat senjata, mereka pun
berperan dalam banyak aspek, mulai dari dapur umum, perawatan, logistik,
propaganda, dan intelijen. Al Chaidar dalam Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap
Penerapan Status DOM di Aceh 1989-1998 (1998) menyebut, pergesaran makna itu
dipengaruhi oleh perubahan perilaku dan mentalitas di saat konflik. Pada saat
itu, kekerasan bersenjata antara kelompok GAM dengan ABRI semakin panas.
Seturut Reni Nuryanti dalam Perempuan Berselimut Konflik (2012), perempuan Aceh
pun mulai memposisikan diri lebih aktif dalam konflik. Sejak 1990, mereka bukan
lagi sekedar objek konflik atau instrumen teror, melainkan terlibat sebagai
subjek peristiwa. Pada masa-masa itulah inong balee digunakan untuk menyebut
para tentara perempuan itu. Julukan ini diberikan oleh Panglima GAM Tengku
Abdullah Syafei. Secara resmi, penyebutan inong balee sebagai tentara perempuan
GAM dinyatakan oleh Juru Bicara GAM Sofyan Dawood pada ulang tahun GAM pada
2000.
Dalam konteks masa DOM, pilihan menjadi inong
balee bagi perempuan Aceh adalah sebuah konsekuensi pada pilihan hidup atau
mati. Namun, terlepas dari munculnya citra sebagai pendukung GAM, posisi inong
balee tetaplah penting dalam sejarah Aceh. Inong balee masa kini adalah pewaris
jiwa Laksamana Keumalahayati.
Sumber : Tirto.id
Reni Nuryanti adalah dosen sejarah di Universitas Samudra,
Aceh. Buku pertamanya berjudul Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit
Garnasih terbit pada 2007. Pada 2018, Reni terpilih sebagai salah satu Penulis
Emerging Indonesia dalam perhelatan Ubud Writers & Readers Festival.
Comments
Post a Comment