Duel Cornelis de Houtman
dan Perempuan Aceh Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati. Wikipedia.org
Hari ini, 27 Juni
1596 silam, rombongan ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman tiba di Banten. Itu adalah kali pertamanya Belanda
berhasil menemukan jalur menuju Nusantara. Pada kedatangan yang kedua, Cornelis
de Houtman berlabuh di Aceh. Di sanalah ia tewas di tangan Laksamana
Malahayati.
Cornelis de Houtman boleh dibilang sebagai perintis
penjajahan Belanda ke
Nusantara. Sebelum berangkat ke Nusantara pada April 1595, Cornelis de Houtman
terlebih dahulu mencari informasi tentang Nusantara di Lisboa. Ia menghabiskan
waktu dua tahun melakukan investigasi sekaligus mencari informasi soal
keberadaan Nusantara, seperti disebut George Masselman dalam bukunya The Cradle
of Colonialism.
Setelah melakukan perjalanan dari 2 April 1595
hingga 27 Juni 1596 itu, akhirnya Cornelis de Houtman tiba di Banten. Awalnya
Kesultanan Banten menerima rombongan ekspedisi dengan baik. Namun beberapa
waktu kemudian, masyarakat menilai perangai orang asing itu tak menyenangkan.
Mereka dianggap seenaknya keluar masuk kota Bangen.
Bahkan, selain Cornelis de Houtman yang tak
menghargai Sultan Banten Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir. Orang-orang
Belanda juga memaksa pedagang pribumi menjual barang dengan harga rendah kepada
mereka. Bekerja sama dengan Portugis, Sultan Banten akhirnya mengusir Cornelis
de Houtman dan rombongan diusir dari Banten.
Duel Maut Cornelis de Houtman dan Laksamana
Malahayati
Cornelis de Houtman kembali ke Nusantara pada
pelayarannya yang kedua, bersama saudaranya, Frederick de Houtman. Bukan Banten
tujuannya, kali ini Cornelis de Houtman berlabuh di Aceh. Namun dasarnya
Cornelis de Houtman memang suka cari gara-gara. Di Aceh, ia berselisih dengan
pihak kerajaan. Perselisihan ini berujung duel maut satu lawan satu. Cornelis
de Houtman ditantang bertarung dengan pimpinan pasukan Inong balee, Malahayati.
Meski lawannya seorang pria, Malahayati ternyata
mampu mengalahkan Cornelis de Houtman. Padahal kala itu Cornelis de Houtman
bersenjatakan pedang. Sementara Malahayati menggunakan rencongnya. Pertarungan
berlangsung di geladak kapal Cornelis de Houtman pada 11 September 1599.
Tanggal ini dicatatkan sejarah sebagai hari kematian Cornelis de Houtman.
Kapten itu tewas di tangan seorang perempuan Aceh ini. Malahayati kemudian
mendapat gelar “Laksamana” untuk keberaniannya.
Pada Peringatan Hari Pahlawan pada 2017, Presiden
Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Laksmana
Malahayati. Penganugerahan ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor
115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan
Nasional. Selain Laksamana Malahayati, Gelar Pahlawan Nasional juga diberikan
kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB),
Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Yogyakarta.
Laksamana Malahayati sendiri merupakan seorang
Muslimah dari kesultanan Aceh, yang menjadi laksamana perempuan pertama di
dunia. Ia merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya, Laksamana
Muhammad Said Syah merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah
Kesultanan Aceh Darussalam sekitar 1530 hingga 1539. Sementara ayah Sultan
Salahuddin Syah adalah Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan
Aceh Darussalam.
Pada rentang 1585 hingga 1604, Malahayati memegang
jabatan sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima
Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Kariernya di medan tempur berawal dari dibentuknya pasukan Inong balee atau
janda-janda pahlawan yang telah syahid. Laksamana Malahayati sendiri kehilangan
suaminya yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.
Saat kedatangan Belanda pada ekspedisi yang kedua,
Malahayati memimpin armada laut dengan dua ribu orang pasukan “Inong balee”.
Mereka berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11
September 1599. Untuk mengenang kepahlawanan Laksamana Malahayati, namanya
ditabalkan sebagai nama pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar. Selain
itu, salah satu kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendalikelas
Fatahillah milik TNI Angkatan Laut juga dinamakan KRI Malahayati.
Di Bandar Lampung, namanya digunakan sebagai nama
kampus, yakni Universitas Malahayati. Pada 2021, Pemerintah DKI Jakarta
menjadikan nama Laksamana Malahayati,
sebagai nama salah satu jalan di ibu kota. Nama Laksamana Malahayati menggantikan
Jalan Inspeksi Kalimalang sisi sebelah utara.
sumber : Tempo.co
Comments
Post a Comment