WARGA di Belanda tak ada tradisi minum kopi. Demikian juga dengan warga di Aceh sebelum abad 19. Ada cerita horor serdadu Belanda di Aceh hingga munculnya kebun kopi di ujung Sumatera ini. Seperti apa?
Alkisah, tanaman kopi sendiri, berdasarkan catatan sejarah, dibawa ke Aceh oleh serdadu Belanda melalui Batavia sekitar tahun 1908.
Konon, tanaman ini sebagai jawaban atas kegelisahan serdadu Belanda selama menjalankan misi di Aceh.
Pasalnya, Aceh merupakan salah satu daerah yang paling sulit ditaklukan oleh Belanda. Salah satunya karena taktik gerilya yang dijalankan oleh pejuang-pejuang Aceh di masa tersebut.
Penulis-penulis Belanda, dalam sejumlah catatan, mengambarkan bahwa masyarakat Aceh begitu ‘menyeramkan’ dan memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Dimana, warga Aceh terlihat tersenyum dan ramah saat disapa. Namun saat serdadu Belanda dan marsose lengah, rencong milik pasukan Aceh bisa saja tertancap di dada.
Demikian juga dalam perang Aceh. Pejuang Aceh acapkali menyerang kamp-kamp Belanda saat malam hari tiba. Saat serdadu Belanda tertidur, maka pejuang-pejuang Aceh datang menyerang dan memotong leher para serdadu tadi.
Sejak itu, serdadu Belanda takut untuk tidur. Mereka takut kepalanya hilang saat tertidur. Para serdadu kemudian terbiasa bergadang di malam hari. Namun hal ini kemudian justru membuat aktivitas mereka di pagi hari terganggu.
Hal ini pula-lah yang akhirnya membuat serdadu Belanda takut untuk tidur selama menjalankan misi di Aceh. Ketakutan ini menyebar dengan luas di kalangan serdadu Belanda hingga dicari solusinya.
Belanda mencari cara agar serdadu bisa bergadang di malam hari tapi tetap beraktivitas fit di pagi hari hari. Baik dengan makanan atau minuman. Akhirnya ditemukanlah tumbuhan yang bisa membuat orang melawan rasa ngantuk.
Tumbuhan tersebut adalah kopi.
Petinggi Belanda kemudian meminta agar mereka memiliki kebun kopi yang besar di Aceh.
Kemudian, oleh beberapa petinggi Belanda, pada tahun 1904, mereka menemukan daratan tinggi yang luas dengan iklim sejuk yang dinilai cocok untuk pengembangan tanaman kopi di Aceh. Daratan tersebut adalah Gayo. Kawasan tersebut bernama Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah.
Selain dibukanya lahan perkebunan, pada tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat.
Sekitar tahun 1924, Belanda kembali mengumpul sejumlah orang kaya di Eropa untuk turut bekerjasama untuk membuka perkebunan yang lebih luas di daerah Gayo.
Kondisi ini kemudian sedikit demi sedikit membuat warga Aceh mulai tertarik menanam kopi. Aktivitas tersebut kemudian mengubah paradigma masyarakat di Aceh, dari Ie Teubee ke kupi.
Ya, karena sebelum kopi mendominasi, masyarakat lebih dulu mengenal cerita tentang Ie Teubee atau air tebu. Bahkan, dalam istilah lokal Aceh, ada disebut ‘peng bloe ie teubee’ atau uang untuk beli air tebu.
Sebelum abad 19, tak ada istilah ‘uang beli kopi’ di Aceh. Demikian juga di Belanda yang justru tradisi dalam masyarakatnya minum susu, teh dan bir.
Kini setelah ratusan tahun, kopi justru jadi salah satu komoditas unggulan dari Aceh. Sedangkan tebu sendiri merosot ke daftar unggulan terakhir.
Kopi Aceh atau Gayo kini justru dikenal hingga ke mancanegara.
Comments
Post a Comment